Sabtu, 18 September 2010


Alami Gizi Buruk, 5 Juta Anak Indonesia Terancam Kehilangan Daya Saing

PENGARUH TINGKAT EKONOMI TERHADAP KWALITAS GIZI ANAK

BAB I
PENDAHULUAN


Dalam 15 tahun mendatang sebanyak lima juta anak Indonesia terancam kehilangan daya saingnya bila kasus gizi buruk di Tanah Air tidak segera ditanggulangi.
"Kita memang belum melakukan penelitian tentang itu, tapi dengan melihat besaran masalah yang ada sekarang, maka kalau tidak segera ditanggulangi mereka akan kehilangan kesempatan untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas," kata Kepala Subdit Bina Kewaspadaan Gizi Direktorat Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Tatang S Falah di Jakarta, Kamis (27/4).
Ia menjelaskan, gizi buruk merupakan gejala yang terjadi dalam jangka panjang dan menimbulkan dampak jangka panjang pula.
Masalah gizi, menurut dia, berkaitan erat dengan kualitas dan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) pada masa mendatang.
Anak-anak dengan status gizi kurang atau buruk, menurut dia, tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. "Selain berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak, status gizi juga berpengaruh pada kecerdasan anak. Anak-anak dengan gizi kurang dan buruk akan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah, nantinya mereka tidak akan mampu bersaing," jelasnya.
Supaya hal itu tidak terjadi, ia melanjutkan, pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menurunkan angka gizi buruk di Tanah Air. "Kita berusaha menurunkan jumlah anak dengan gizi kurang dari 27,5 persen saat ini menjadi 20 persen pada 2009 nanti," katanya.
Guna mencapai target nasional itu, kata Falah, pemerintah telah membuat Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi yakni sistem informasi yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengetahui situasi pangan dan gizi di wilayahnya.
Melalui sistem itu pemerintah daerah akan mengumpulkan, menyajikan serta mengkaji data tentang pangan dan gizi di wilayahnya untuk mengetahui kondisi status gizi masyarakatnya.
Data itu selanjutnya akan digunakan pemerintah pusat sebagai acuan untuk menyusun program penanggulangan masalah gizi nasional. "Pemerintah daerah bisa memantau kondisi kesehatan serta gizi masyarakat di wilayahnya dengan memberdayakan masyarakat. Posyandu harus diperkuat agar mampu mendeteksi dan menangani kasus-kasus gizi buruk dan kurang secara cepat," katanya.Selain itu pemerintah juga telah membuat Rancangan Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk pada Juli 2005.
Aksi itu dilakukan dengan memberikan makanan tambahan kepada balita, fortifikasi (pengayaan) nutrisi pada bahan pangan pokok, melakukan promosi keluarga sadar gizi dan melakukan revitalisasi Posyandu.
Namun upaya-upaya tersebut hingga saat ini belum dapat menanggulangi masalah-masalah gizi buruk di Tanah Air, kasus-kasus gizi buruk masih dilaporkan terjadi di berbagai daerah.
Data dari Departemen Kesehatan menyebutkan pada 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 persen kabupaten dan 56 persen kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada 2003 sebanyak lima juta anak balita (27,5 persen) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 persen) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3 persen) sisanya mengalami gizi buruk.Sementara menurut pengelompokkan prevalensi gizi kurang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada 2004 karena 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita Indonesia (28,47 persen) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk.Menurut Falah hal itu diantaranya terjadi karena belum semua kepala daerah mempunyai komitmen untuk mengatasi masalah tersebut. Padahal, ia melanjutkan, untuk menanggulangi masalah gizi buruk diperlukan upaya yang terpadu dan berkesinambungan dari semua pihak, utamanya pemerintah daerah."Karena perawatan atau usaha yang bersifat kuratif lainnya tidak akan berarti kalau tidak ada upaya preventif," katanya.

Lebih lanjut ia menjelaskan pula bahwa faktor-faktor lain seperti pola pengasuhan, tingkat pendidikan ibu dan faktor sosial budaya dalam masyarakat juga menjadi penyebab timbulnya masalah gizi dalam masyarakat.Oleh karena itu, ia menambahkan, semua komponen dalam masyarakat harus bekerja bersama untuk mencegah dan menanggulangi masalah gizi di Tanah Air.
take of : mediaindo.co.id

BAB II
ISI

Keluarga dikatakan kadarzi, bila dapat melaksanakan seluruh perilaku tersebut. Bila salah satu perilaku belum dapat dilaksanakan, maka keluarga tersebut belum Kadarzi
Yang perlu disampaikan agar keluarga biasa makan beraneka ragam makanan

1.Pengertian aneka ragam makanan yaitu :
Makan 2-3 kali sehari yang terdiri dari 4 macam kelompok bahan makanan. Dari tiap kelompok bahan makanan dan jenis yang dikonsumsi, maka makin banyak jenisnya makin baik. Adapun 4 kelompok bahan makanan tersebut adalah :

1. Makanan pokok, sebagai sumber zat tenaga : beras, jagung, ubi, singkong, mie, dan lain-lain.
2. Lauk pauk, sebagai sumber zat pembangun : ikan, telur, ayam, daging, tempe, kacang-kacangan, tahu, dll.
3. Sayuran dan buah-buahan, sebagai sumber zat pengatur : bayam, kangkung, wortel, buncis, kacang panjang, sawi, daun singkong, daun katuk, pepaya, pisang, jeruk, semangka, nanas dan lain-lain.
2. Manfaat makan aneka ragam makanan, yaitu : Untuk melengkapi zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh agar dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dan terhindar dari penyakit kekurangan gizi.
3. Akibat tidak makan aneka ragam makanan, yaitu : Tubuh kekurangan zat gizi tertentu dan lebih mudah terserang penyakit dan khusus balita pertumbuhan dan kecerdasannya terganggu.
4. Tindakan yang perlu dilakukan bila keluarga belum makan aneka ragam makanan, yaitu :
1. Jelaskan tentang pentingnya makan aneka ragam makanan pada kesehatan, pertumbuhan dan kecerdasan.
2. Memanfaatkan pekarangan disekitar rumah dengan menanam tanaman, beternak ayam, bebek, ikan dan lain-lain agar dimakan oleh anggota keluarga dan hasil pekarangan juga dapat dijual untuk menambah penghasilan keluarga.
3. Mengupayakan bantuan dari sektor pertanian, untuk mengusahakan penggunaan lahan pertanian secara gotong royong bagi keluarga yang tidak mempunyai pekarangan.
4. Anjurkan ibu untuk masak aneka ragam dengan menu yang disukai oleh anggota keluarga
5. Kriteria Keluarga mandiri Sadar Gizi
Biasa makan beraneka ragam makanan.
1. Selalu memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarganya (menimbang berat badan), khususnya balita dan ibu hamil.
2. Biasa menggunakan garam beryodium
3. Memberi dukungan kepada ibu melahirkan agar memberikan ASI saja pada bayi sampai umur 4 bulan.
4. Biasa makan pagi.
5. Yang perlu disampaikan pada keluarga agar memantau pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anggota keluarganya.
1. Pengertian pertumbuhan, yaitu bertambahnya ukuran fisik dari waktu ke waktu.
2. Pengertian perkembangan, yaitu bertambahnya fungsi tubuh seperti pendengaran, penglihatan, kecerdasan dan tanggung jawab.
3. Pengertian memantau pertumbuhan dan perkembangan kesehatan, yaitu : mengikuti perkembangan kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarga, terutama bayi, balita dan ibu hamil.
4. Kegunaan memantau kesehatan dan pertumbuhan yaitu : a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak balita. b. Mencegah memburuknya keadaan gizi c. Mengetahui kesehatan ibu hamil dan perkembangan janin, mencegah ibu melahirkan Bayi dengan berat badan lahir rendah dan terjadinya perdarahan pada saat melahirkan. d. Mengetahui kesehatan anggota keluarga dewasa dan usia lanjut.
5. Akibat bila tidak memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarga, yaitu : ¨ Tidak mengetahui perkembangan pertumbuhan bayi, anak balita dan janin secara normal. ¨ Tidak mengetahui adanya gejala penyakit pada bayi, anak balita, dan ibu hamil, misalnya kekurangan zat gizi, kegemukan, gangguan pertumbuhan janin dan gangguan kesehatan lain.
6. Tindakan yang perlu dilakukan oleh masyarakat:
a. Bila keluarga belum memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarganya:
• Anjurkan kepada anggota keluarga/ibu menimbang bayi dan anak balitanya setiap bulan ke Posyandu. Bila berat badan anak turun atau tidak naik, maka anjurkan orang tua/ibu untuk memeriksakan anaknya ke Petugas kesehatan di meja 5 Posyandu atau Puskesmas terdekat.
• Anjurkan kepada ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya sesegera mungkin ke petugas kesehatan secara teratur, paling sedikit 4 kali selama masa kehamilan. Bila ibu hamil terlihat kurus, maka anjurkan ibu tersebut untuk makan 1-2 piring lebih banyak dari biasanya, dan minum tablet tambah darah setiap hari 1 tablet, sedikitnya 90 tablet selama masa kehamilan. Selain minum tablet tambah darah, ibu dianjurkan makan-makanan sumber zat besi seperti : ikan, telur, tempe, kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan.
b. Bagaimana cara menemukan balita gizi buruk? Penemuan kasus balita gizi buruk dapat dimulai dari:
• Keluarga : melihat anak semakin kurus.
• Posyandu : penimbangan bulanan di Posyandu
c. Penanggulangan masalah gizi tingkat keluarga:
• Ibu membawa anak untuk ditimbang di Posyandu secara teratur
• Ibu memberikan hanya ASI kepada bayi usia 0 - 4 bulan
• Ibu tetap memberikan ASI kepada anak sampai usia 2 tahun
• Ibu memberikan MP-ASI sesuai usia dan kondisi kesehatana anak.
• Ibu memberikan makanan beraneka ragam bagi anggota keluaraga lainnya.
• Ibu memberitahukan pada petugas kesehatan/kader bila anak balita mengalami sakit atau gangguan pertumbuhan.
d. Penanggulangan masalah gizi tingkat Posyandu:
• Kader melakukan penimbangan balita setiap bulan di Posyandu serta mencatat hasil penimbangan pada KMS.
• Kader memberikan nasehat padaorang tua balita untuk memberikan hanya ASI kepada bayi usia 0 - 4 bulan dan tetap memberikan ASI sampai anak usia 2 tahun.
• Kader memberikan penyuluhan MP-ASI sesuai dengan usia anak serta makanan beraneka ragam untuk anggota keluarga lainnya.
• Bagi anaka dengan berat badan tidak naik ("T") diberikan penyuluhan gizi dan PMT Penyuluhan.
• Kader memberikan PMT Pemulihan bagi balita dengan "3T" dan "BGM" (Bawah Garis Merah).
• Kader merujuk balita ke Puskesmas bila ditemukan gizi buruk dan penyakit penyerta lain.
• Kader melakukan kunjungan rumah untuk memantau perkembangan kesehatan balita.
7. Hal-hal lain yang perlu diketahui keluarga mengenai pertumbuhan bayi dan balitanya:
• (BGM) : yaitu bila berat badan bayi / balita berada di bawah Garis merah pada KMS. Ini berarti bayi / balita tersebut mengalami gangguan pertumbuhan dan perlu perhatian khusus.
• Gizi Buruk adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga secara klinis terdapat dalam 3 tipe yaitu Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmus-Kwashiorkor.
• Tanda-tanda Kwashiorkor:
1. Edema umumnya diseluruh tubuh dan terutama pada punggung kaki.
2. Wajah membulat dan sembab
3. Pandangan mata anak sayu.
4. Perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis.
5. Rambut berwarna pirang, kusam dan mudah dicabut.
6. Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk.
7. Gangguan kulit berupa bercak merah coklat yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas.
8. Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia)
9. Sering disertai infeksi, anemia dan diare/mencret.
Tanda-tanda Marasmus:
1. Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit.
2. Wajah seperti orang tua.
3. Cengeng, rewel.
4. Perut cekung.
5. Kulit keriput.
6. Sering disertai diare kronik atau susah buang air besar.

Tanda-tanda Marasmic-Kwashiorkor:
Merupakan gabungan tanda-tanda kedua jenis tersebut diatas.

Yang perlu disampaikan pada keluarga agar menggunakan/ masak dengan garam beryodium.
1. Pengertian garam beryodium, yaitu : garam yang telah ditambah zat yodium yang diperlukan oleh tubuh. Pada kemasan biasa ditulis "garam beryodium".
2. Kegunaan garam beryodium, yaitu : mencegah terjadinya penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY).
3. Akibat tidak menggunakan /masak dengan garam beryodium, yaitu terjadinya penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) yang ditandai dengan :
• Membesarnya kelenjar gondok di daerah leher, sehingga mengurangi daya tarik seseorang.
• Pertumbuhan anak tidak normal yang disebut kretin/kerdil.
4. Tindakan yang perlu dilakukan bila keluarga belum makan/masak dengan garam beryodium, yaitu :
• Anjurkan keluarga agar selalu makan/masak dengan garam beryodium.
• Jelaskan kepada keluarga bagaimana membedakan garam beryodium dan garam tidak beryodium dengan menggunakan test kit yang disebut Yodina test (dapat dibeli di apotik/toko obat).
Cara menggunakan test kit tersebut, yaitu : teteskan garam dapur dengan cairan yodina, maka akan terlihat perubahan warna garam putih menjadi biru keunguan pada garam yang beryodium. Semakin tua warnanya, semakin baik mutu garam beryodium.
5. Bagaimana jika tidak tersedia test kit dan cairan yodina ?
• Kupas singkong yang masih segar, kemudian diparut.
• Tuangkan 1 sendok perasan singkong parut tanpa ditambah air kedalam tempat yang bersih.
• Tambahkan 4-6 sendok teh munjung garam yang akan diperiksa.
• Tambahkan 2 sendok teh cuka biang, aduk sampai rata, biarkan beberapa menit. Bila timbul warna biru keunguan berarti garam tersebut mengandung yodium.

Yang perlu disampaikan pada ibu agar memberikan ASI saja ("ASI Eksklusif") pada bayi usia 0-4 bulan.
1. Pengertian pemberian Air Susu Ibu (ASI) saja atau dikenal dengan istilah "ASI Eksklusif", yaitu : tidak memberikan makanan dan minuman lain selain ASI pada bayi umur 0-4 bulan.
2. Kegunaan memberikan ASI saja, yaitu :
• ASI merupakan makanan bayi yang paling sempurna, murah dan mudah memberikannya pada bayi.
• ASI saja dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan ormal pada bayi sampai berumur 4 bulan.
• ASI yang pertama keluar disebut kolustrum berwarna kekuningan, dan mengandung zat kekebalan untuk mencegah timbulnya penyakit. Oleh karena itu harus diberikan kepada bayi dan jangan sekali-sekali dibuang.
• Keluarga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk makanan bayi 0-4 bulan.
• Dengan ASI mempererat ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi.
3. Akibat tidak memberikan ASI saja pada bayi, yaitu :
• Bila bayi umur 0-4 bulan diberi makanan lain selain ASI, dapat terjadi gangguan alat pencernaan.
• Bayi tidak mempunyai ketahanan tubuh untuk mencegah penyakit.
• Bila bayi diberikan susu botol sering terjadi mencret, kemungkinan bayi tidak cocok dengan susu bubuk atau cara membuatnya tidak bersih, dan pengeluaran biaya rumah tangga lebih banyak.
• Mengurangi ikatan cinta kasih antara ibu dan anak.


Yang perlu disampaikan pada keluarga agar biasa makan pagi
1. Pengertian makan/sarapan pagi, yaitu : makanan yang dimakan pada pagi hari sebelum beraktifitas, yang terdiri dari makanan pokok dan lauk pauk atau makanan kudapan. Jumlah yang dimakan kurang lebih 1/3 dari makanan sehari.
2. Manfaat makan/sarapan pagi, yaitu :
• Untuk memelihara ketahanan tubuh, agar dapat bekerja atau belajar dengan baik.
• Membantu memusatkan pikiran untuk belajar dan memudahkan penyerapan pelajaran.
• Membantu mencukupi zat gizi.
3. Akibat tidak makan pagi, yaitu :
• Badan terasa lemah karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk tenaga.
• Tidak dapat melakukan kegiatan atau pekerjaan pagi hari dengan baik.
• Anak sekolah tidak dapat berpikir dengan baik dan malas.
• Orang dewasa hasil kerjanya menurun.
4. Tindakan yang perlu dilakukan bila keluarga belum biasa makan pagi, yaitu :
• Jelaskan keuntungan seseorang bila membiasakan diri makan pagi.
• Anjurkan makan pagi sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga.
• Gunakan bahan makanan yang tersedia dan mudah dibuat dikeluarga atau mudah didapat di daerah setempat.
• Berikan contoh-contoh makan pagi yang sederhana dan bergizi.

dari www.dinkes-dki.go.id



















CONTOH PROPOSAL PENELITIAN KEPERAWATAN
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES,
DUKUNGAN KELUARGA, DUKUNGAN TEMAN DAN DUKUNGAN IKLAN DENGAN PERILAKU REMAJA TERHADAP ROKOK
DI SLTP KARYA PEMBANGUNAN (KP) 10 BANDUNG

BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Masalah
Masalah rokok saat ini menjadi topik yang sedang hangat dibicarakan. Telah banyak artikel dalam media cetak dan pertemuan ilmiah, ceramah, wawancara baik di radio maupun televisi serta penyuluhan mengenai bahaya merokok dan kerugian yang ditimbulkan akibat rokok. Berbagai kebijakan dan aturan yang memuat sanksi bagi para perokok dipublikasikan secara terus-menerus. Bahkan setiap tanggal 31 Mei, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day). Melalui peringatan hari tanpa rokok sedunia ini, diharapkan menjadi kesempatan bagi kita untuk berfikir kembali dan menyadari akan bahaya dan dampak rokok baik bagi perokok itu sendiri maupun lingkungan disekitarnya.
1Rokok merupakan zat aditif yang mengancam kesehatan karena didalamnya mengandung zat-zat yang membahayakan tubuh. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa artikel ilmiah menerangkan bahwa dalam setiap kepulan asap rokok terkandung ± 4000 racun kimia berbahaya dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Beberapa zat yang berbahaya tersebut diantaranya tar, karbonmonoksida (CO) dan nikotin (Abadi, 2005).
Melalui zat yang dihisap dalam rokok, hampir sekitar 90 % kanker paru-paru tidak dapat diselamatkan. (Basyir, 2005). Selain itu rokok dapat menyebabkan kanker mulut, bibir, kerongkongan, penyakit jantung, bahkan disinyalir dapat memperpendek usia. Menurut perhitungan Fakultas kedokteran di Inggris, rata-rata setiap perokok kehilangan 5 ½ menit umurnya setiap menghisap sebatang rokok (Nainggolan, 2000).
Dalam sebuah study yang dilakukan di Jepang, seperti yang diberitakan The Asahi Shimbun terbitan 23 April 2004, didapatkan hasil bahwa 29 % (80.000 orang) pada pria dan 4 persen (5000 orang) pada wanita penderita kanker di jepang disebabkan oleh rokok (Basyir, 2005).
Di Indonesia sendiri angka kejadian penyakit akibat rokok menurut mantan menteri kesehatan Achmad Sujudi, tercatat sebanyak 6,5 juta jiwa menderita penyakit akut akibat merokok. Antara lain berupa kanker paru-paru, jantung, dan gangguan peredaran darah. Achmad sujudi menambahkan bahwa ''Bayi yang lahir dari ibu yang merokok juga memiliki berat badan yang rendah serta bisa menimbulkan sindroma bayi meninggal mendadak (Sudden Death).'' (www.republikaonline.com, 2003) .
Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 1,2 miliar penduduk dunia merupakan perokok, dan 800 juta di antaranya terdapat di negara berkembang. Besarnya jumlah perokok tersebut menyebabkan angka kematian akibat merokok saat ini adalah 4 juta jiwa setiap tahun, yang berarti terdapat sekitar satu kematian dalam setiap 8 menit (Burhan, 2004).
Melihat dari data akibat yang disebabkan oleh bahaya merokok tersebut, tidak heran bahwa di negara maju aktivitas merokok mulai dibatasi, dan jumlah perokok semakin berkurang. Menurut badan kesehatan WHO dinegara maju prevalensi jumlah perokok menurun 1,1% setiap tahunnya, akan tetapi dinegara berkembang seperti Indonesia jumlah perokok ini 2,1% meningkat setiap tahunnya (A.F Muchtar, 2005). Aktivitas merokok dianggap sebagai suatu trend di Indonesia. Riset WHO 1998 menunjukan, kelompok perokok aktif usia 10 tahun ke atas di Indonesia tercatat 59,04% untuk pria dan 4,85%untuk wanita. Dari kelompok usia tersebut 12,8%-27,7% pria berusia muda (young males) dan 0,64%-1% adalah wanita muda (young females) (Syahrir, 2003).
Jumlah perokok di Indonesia menempati urutan terbesar keempat dunia dengan kekerapannya sekitar 60% pada laki-laki dan 4% pada perempuan yang berumur lebih dari 15 tahun (Burhan, 2004). Sedangkan di Asia Indonesia menempati urutan kedua terbesar setelah Kamboja dengan prosentasi perokok pria; Kamboja 54%, Indonesia 53%, Vietnam 50%, Malaysia 49% dan Thailand 39% (Basyir, 2005).
Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa kebiasaan merokok justru dimulai pada usia yang sangat muda. Psikolog A Kasandra Oemarjoedi (2004) mengatakan, jika dua puluh tahun yang lalu umur rata-rata seseorang mulai merokok adalah pada usia 16 tahun (remaja tingkat SLTA), estimasi sekarang seseorang mulai merokok pada usia remaja 12-14 tahun (remaja tingkat SLTP). Oemarjoedi menambahkan, berdasarkan data Survei Yayasan Pelita Ilmu lebih dari tiga juta remaja menggunakan rokok tembakau, dan dari keseluruhan jumlah tersebut, hampir 20 persen adalah siswa SLTP. Bahkan data dari tiga tahun terakhir, 30 persen dari jumlah anak SLTP adalah perokok aktif. Satu dari tiga siswa menjadi perokok permanen sampai dia dewasa dan meninggal pada usia yang sangat muda yang diakibatkan oleh penyakit yang disebabkan karena merokok (Daryanto,2004).
Secara psikologis remaja SLTP (usia 12-16 tahun) berada pada tahapan perkembangan remaja awal. Periode masa remaja awal dikatakan sebagai masa transisi dimana jiwa anak masih labil. Hal ini disebabkan karena anak belum menemukan pegangan hidup yang mantap. Akibat labilnya jiwa anak, menjadikan mereka sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, baik yang bersifat positif maupun negatif (Kartono, 1995). Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa masa remaja awal memiliki beberapa ciri tahapan perkembangan yaitu tahap periode peralihan, periode perubahan, periode bermasalah dan periode pencarian identitas. Pada periode pencarian identitas, remaja cenderung meniru tingkah laku orang dewasa yang dianggap menunjukan kematangan dan kemapanan dalam hal identitas diri. Proses identifikasi remaja terhadap orang dewasa menyebabkan mereka mengadopsi perilaku yang ada pada orang dewasa, salah satunya adalah perilaku merokok. Merokok menjadi perilaku negatif yang umum dan bersifat legal bagi para remaja.
Merokok pada remaja perlu mendapatkan perhatian besar. Penurunan sumber-daya manusia dimasa yang akan datang menjadi sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi yang disebabkan karena remaja terbiasa dengan perilaku yang tidak sehat. Taylor (Syahrir 2003) menyatakan bahwa perilaku merokok pada remaja dapat menjadi bagian dari serangkaian sindrom perilaku bermasalah secara umum, misalnya: penggunaan obat-obatan terlarang, alkoholik dan perilaku sex bebas.
SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 merupakan instansi pendidikan yang berada di wilayah Bandung Timur, tepatnya di Jl. Raya A.H. Nasution No 25A. Sekolah ini merupakan sekolah gabungan antara SLTP, SMU dan SMK Karya Pembangunan. Instansi pendidikan ini merupakan sekolah swasta yang banyak diminati di wilayah Bandung Timur. Hal ini terlihat dari banyaknya siswa yang terdaftar di SLTP KP 10. Jumlah siswa secara keseluruhan di SLTP KP berjumlah 985 siswa (488 siswa laki-laki dan 497 siswa perempuan). Dari 985 siswa tersebut terbagi menjadi 320 siswa kelas I, 376 siswa kelas II dan 289 siswa kelas III.
Berdasarkan hasil study pendahuluan yang dilakukan pada bulan April 2006, didapatkan informasi dari guru bimbingan konseling SLTP KP 10 Bandung, bahwa di sekolah tersebut belum pernah dilakukan penelitian yang berkaitan dengan perilaku merokok siswa. Padahal dari beberapa permasalahan mengenai kenakalan remaja di SLTP KP 10, merokok menjadi masalah dengan tingkat prosentase tertinggi (25-30%) dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan, perkelahian / tawuran dan, perkumpulan remaja atau gangster, yang hanya tercatat (< 10%). Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang siswa kelas III didapatkan data bahwa semua siswa tersebut merokok, bahkan mereka mengatakan, hampir seluruh anak laki-laki di kelasnya sudah pernah merokok. Adapun untuk kelas II mereka mengatakan hanya sekitar (30-35%) yang merokok, dan kelas I (±10%). Kebanyakan siswa di SLTP KP merokok diluar lingkungan sekolah, mereka bergerombol disuatu tempat yang memang memudahkan mereka mendapatkan rokok. Padahal SLTP KP sendiri memiliki kebijakan yang tertulis dalam perjanjian antara pihak sekolah dengan calon siswa mengenai larangan membawa ataupun merokok didalam maupun diluar lingkungan sekolah, termasuk sanksi tegas yang menjerat apabila larangan ini di langgar oleh siswa.
Adapun informasi yang penulis dapatkan dari Badan Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) kota Bandung perilaku merokok termasuk kedalam 6 bentuk perilaku bermasalah yang ada pada remaja SMP. Munculnya perilaku bermasalah terutama merokok terjadi pada sekolah-sekolah dengan kriteria sebagai berikut: 1) sekolah yang menerima siswa tanpa testing, 2) sekolah yang berada di daerah pinggiran kota, 3) sekolah yang kurang komitmen terhadap penerapan disiplin, dan 4) sekolah yang berada dekat keramaian.
Banyak hal yang dapat menjadi resiko timbulnya perilaku merokok pada anak usia remaja. Subanada (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa faktor resiko munculnya perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh berberapa faktor diantaranya: 1). Faktor psikologis/kepribadian yang terdiri dari faktor psikososial yang meliputi stress, rasa bosan, rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri dan perilaku yang menunjukan pemberontakan menjadi hal yang mengkontribusi remaja untuk mulai merokok. Selain itu, secara psikologis perilaku merokok pada remaja diasosiasikan juga dengan gangguan psikiatrik. 2). Faktor biologis, meliputi fungsi kognisi, etnik, genetik dan jenis kelamin. 3). Faktor lingkungan, yakni orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan reklame atau iklan menampilkan sang idola remaja, 4). Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea cukai yang tinggi terhadap rokok dengan maksud untuk menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok, dan pembatasan fasilitas / lokasi untuk merokok.
Faktor psikologis dapat dilihat dari kajian perkembangan remaja lingkungan, artinya perilaku merokok selain disebabkan oleh faktor dalam di, Erikson mengatakan bahwa setiap remaja akan mengalami fase krisis dalam proses pencarian jati dirinya yang disebabkan karena adanya perubahan fisik dan psikososial. Ketidaksesuaian antara perkembangan fisik, psikis dan sosial menyebabkan remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Merokok menjadi alternatif yang mereka pilih karena dianggap dapat mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress (Helmi & Komalasari, 2006).
Selain itu, perilaku merokok merupakan perilaku yang dipelajari, sehingga perlu ada agen sosialisasi dalam proses munculnya perilaku tersebut, dan lingkungan merupakan faktor penting yang pertama kali memperkenalkan remaja terhadap perilaku merokok. Aktivitas merokok yang ada di lingkungan menstimulasi remaja untuk mencoba hal yang sama agar dapat diterima sebagai anggota dari lingkungan tersebut (A.F Muchtar 2005). Orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan iklan merupakan faktor lingkungan yang mendorong remaja untuk merokok.
Berdasarkan faktor biologi, merokok merupakan perilaku yang diturunkan secara genetik, dan perilaku ini lebih banyak terjadi pada mereka keturunan ras kulit putih. Sedangkan berdasarkan faktor regulatori, perilaku merokok berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap rokok yang akan terpengaruh oleh kebijakan pemerintah melalui pajak atau bea cukai rokok. Selain itu adanya kebijakan penentuan daerah bebas rokok, menjadi upaya yang diharapkan dapat mengurangi konsumsi mayarakat akan rokok dan sekolah menjadi salah satu tempat yang ditetapkan sebagai kawasan bebas rokok (Soetjiningsih, 2004).
Melihat dari faktor-faktor tersebut, dalam kesempatan ini penulis hanya memfokuskan penelitian pada dua faktor yakni psikologis (stress) dan faktor lingkungan yang meliputi dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan iklan. Adapun faktor biologi dan regulatori tidak menjadi lingkup penelitian dengan pertimbangan; faktor biologis akan sangat sulit untuk diteliti, sedangkan berkaitan dengan faktor regulatori, SLTP KP sendiri telah memiliki aturan mengenai larangan membawa maupun melakukan aktivitas merokok baik di dalam maupun di luar lingkungan pendidikan.
1. 2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: apakah terdapat hubungan antara tingkat stress, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I. 3 Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara tingkat stress, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi gambaran perilaku merokok pada remaja SLTP KP 10 Bandung.
2. Untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres pada remaja di SLTP KP 10 Bandung.
3. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan keluarga untuk merokok pada remaja di SLTP KP 10 Bandung.
4. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan teman untuk merokok pada remaja di SLTP KP 10 Bandung.
5. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan iklan untuk merokok pada remaja di SLTP KP 10 Bandung.
6. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Stress dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
7. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan keluarga dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
8. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan teman dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
9. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan Iklan di media dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.


I. 4. Kegunaan
Melalui identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung., diharapkan dapat berguna bagi ;
I.4.1 Instansi Pendidikan (SLTP KP 10 Bandung)
1. Sebagai gambaran bagi instansi mengenai perilaku merokok yang terjadi pada siswa.
2. Sebagai bahan acuan untuk penegakan disiplin bagi siswa selanjutnya
3. Sebagai bahan pemikiran untuk evaluasi kebijakan yang telah diterapkan sekolah bagi para siswa.
4. Sebagai landasan untuk pelaksanaan program incidental/ program extra yang membahas mengenai masalah yang berhubungan dengan perilaku remaja.
I.4.2 Petugas Kesehatan (Instansi Puskesmas)
Menjadi masukan penting bagi instansi puskesmas setempat sebagai bahan pokok untuk melakukan penyuluhan tentang bahaya merokok sesuai dengan program UKS di SLTP Karya Pembangunan 10.
I.4.3 Peneliti dan Penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian atau data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan perilaku merokok pada anak remaja SLTP.
1.5 Kerangka konsep
Subanada dalam Soetjiningsih 2004 mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor resiko timbulnya perilaku merokok pada remaja, yakni :
1. Faktor psikologis/kepribadian yang terdiri dari faktor psikososial yang meliputi stress, rasa bosan, rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri dan perilaku yang menunjukan pemberontakan. Selain itu perilaku merokok pada remaja diasosiasikan dengan gangguan psikiatrik seperti depresi dan skizofrenia.
2. Faktor biologis, meliputi fungsi kognisi dimana para perokok menganggap bahwa merokok dapat meningkatkan konsentrasi mereka. Faktor etnik, dimana remaja yang berasal dari keturunan ras kulit putih di Amerika akan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menjadi seorang perokok dibandingkan dengan keturunan lain. Selanjutnya faktor genetik, yang menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, seorang perokok mempunyai gen yang akan diturunkan yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku merokok pada generasi selanjutnya. Adapun yang terakhir adalah faktor jenis kelamin, dimana pada saat ini perilaku merokok tidak hanya muncul pada kaum pria tetapi juga pada wanita.
3. Faktor lingkungan yang meliputi perilaku merokok orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan reklame atau iklan rokok yang menampilkan sang idola remaja sebagai role model mereka.
4. Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea cukai yang tinggi terhadap rokok dengan maksud untuk menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok. Selain itu, yang temasuk kedalam faktor ini adalah adanya pembatasan fasilitas untuk merokok dengan diberlakukan kawasan bebas asap rokok.
Hasil konsensus FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2000 tentang opiat, masalah media dan penatalaksanaannya menyatakan, terdapat dua hal yang menjadi faktor pendukung bagi seseorang untuk menggunakan zat aditif termasuk rokok yaitu faktor psikologis dan lingkungan (Oktariani, 2006). Erikson (Helmi & Komalasari 2006) mengungkapkan bahwa munculnya perilaku merokok pada remaja dikarenakan adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa proses mencari jati diri. Ketidaksesuaian antara perkembangan fisik, psikis dan sosial menyebabkan remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Merokok menjadi alternatif yang mereka pilih karena mereka menganggap merokok dapat mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress.
Aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang dapat memberikan kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan simbolisasi kejantanan atau kedewasaan (A.F Muchtar 2005).
Atkinson 1991 dalam bukunya psikologi perkembangan mengungkapkan bahwa, dalam kondisi stress remaja cenderung mengulang perilakunya. Semakin sering remaja berada dalam kondisi stress semakin mungkin merokok mereka lakukan yang akhirnya berdampak pada ketergantungan.
Stress itu sendiri merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian antara harapan dan pencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional. Banyak hal yang dapat menyebabkan stress, terlambat dalam perjalanan, kecemasan akan kondisi diri dan keluarga, ataupun tugas yang sudah ditunggu pada batas waktu akhir. Ketidakmampuan mengatasi hal tersebut dengan baik akan direfleksikan melalui perasaan emosional seperti marah, tegang, cemas bahkan agresi. Padahal Earle mengungkapkan bahwa stress ini merupakan pergerakan energi “mobilized energy” yang diperlukan agar seseorang dapat berfikir lebih baik, sehingga dari ketidaksesuaian yang ada, seseorang dapat menganalisa masalah dan memperbaikinya (Groenewald 2006).
Sedangkan berhubungan dengan faktor lingkungan, perilaku merokok muncul disebabkan karena lingkungan merupakan faktor yang pertama kali mengenalkan mereka pada perilaku merokok. Aktivitas merokok yang ada di lingkungan menstimulasi remaja untuk mencoba hal yang sama agar dapat diterima sebagai anggota kelompok dari lingkungan tersebut. Dengan lingkungan yang baik, remaja akan menjadi tampak berkembang baik. Sebaliknya, lingkungan yang tidak baik dapat menjerumuskan remaja kedalam perilaku yang tidak baik pula. Orangtua, saudara kandung dan teman sebaya merupakan faktor lingkungan yang menjadi agen sosialisasi perilaku merokok pada remaja. Orangtua yang merokok akan berpengaruh besar terhadap penularan perilaku merokok pada anaknya (A.F Muchtar 2005).
Pola interaksi remaja yang lebih banyak dihabiskan dengan teman sebaya juga akan berpengaruh terhadap pembentukan perilaku remaja. Fenomena yang ada adalah sebagian besar dari anggota kelompok remaja memiliki kebiasaan merokok. Fakta yang diperoleh diantara remaja perokok dan nonperokok, 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang merokok. Semakin banyak remaja merokok, semakin besar kemungkinan teman-temannya merokok pula. Faktor lingkungan lain yang tidak dapat dipisahkan adalah pengaruh iklan. Iklan rokok yang menampilkan gambaran bahwa merokok merupakan lambang kejantanan dan glamour, memicu remaja untuk mengikuti perilaku tersebut, terlebih apabila iklan tersebut menampilkan sosok idola sang remaja (Basyir 2005).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dalam penelitian ini penulis mencoba memfokuskan penelitian mengenai faktor stress, dukungan keluarga, dukungan teman sebaya dan dukungan iklan yang akan dihubungkan dengan perilaku remaja terhadap rokok.

1.6 Hipotesa
Hipotesa adalah jawaban sementara atau dalil sementara dari suatu penelitian yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo, 72, 2002). Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah :
a. Hipotesa 1
H0 : Tidak terdapat hubungan antara stress dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara stress dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
b. Hipotesa 2 :
H0 : Tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10
1. Stress
Stress merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian anatara harapan dapencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional (Groenewald 2006). Tingkat stress menurut gronewald dibagi menjadi : stress ringan, stress sedang dan stress berat.
Stress dalam penelitian ini suatu kondisi dimana remaja berada dalam tekanan, suasana hati yang tidak menyenangkan, atau menggalami gangguan proses berfikir/mengambil keputusan.
Instrument baku dari Groenewald
ang telah di alih-bahasakan kedalam bahasa Indonesia.
Ordinal
• Stress ringan
• Stress sedang
• Stress berat
2. Dukungan
Keluarga Pada lingkungan keluarga menurut A.F Muchtar, remaja cenderung merokok apabila orangtua (terutama ayah) atau kakak kandung merokok atau bersikap tidak melarang.
3. Dukungan
Teman Remaja untuk dapat diterima menjadi anggota kelompok sebaya harus dapat menjalankan peran dan tingkah laku sesuai dengan harapan dan tuntutan kelompok, dimana mayoritas anggota kelompok memiliki kebiasaan merokok. Maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri akibatnya (Hurlock 1993).
Dukungan keluarga dalam penelitian ini adalah ada tidaknya anggota keluarga yang merokok. Serta ada tidaknya larangan.
Dukungan teman dalam penelitian ini adalah dorongan atau stimulus yang diberikan oleh anggota kelompok sepermainan kepada siswa untuk melakukan kegiatan merokok. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rokok bukan lagi menjadi barang aneh untuk saat ini, ketika disebut kata “rokok”, yang terbayang adalah sebuah komoditi terlaris yang paling gampang di undang untuk menjadi sponsor pada berbagai event olahraga ataupun pertunjunkan besar. Sampai saat ini jarang sekali toko atau warung yang tidak menjual rokok, bahkan dalam setiap toko grosir makanan rokok bisa mengisi 40–50 % barang yang laris terjual setiap harinya. Melihat fenomena ini sepertinya rokok telah menjelma menjadi kebutuhan pokok layaknya sembako. Seandainya rokok itu sarat manfaat, mengandung unsur gizi yang dibutuhkan tubuh, tentunya tidak masalah. Tetapi rokok sudah diakui sebagai komoditi yang berbahaya bagi kesehatan (Basyir 2005).
2.1. Rokok dan Masalahnya
2.1.1 Sejarah rokok
22Rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu atau bentuk lainnya, yang dihasilkan dari tanaman nicotina tabaccum, nicotina rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Nikotin merupakan zat atau bahan senyawa pirolidin yang terdapat dalam nicotina tabaccum, nicotina rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat menyebabkan ketergantungan. Sedangkan tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatis yang bersifat karsinogenik (PP No. 19 tahun 2003).
Tembakau itu sendiri, yang merupakan bahan utama untuk rokok ini telah dikenal lama sebelum tahun 1492. Pada saat itu, pelaut Eropa yang menemukan benua Amerika “Colombus” melihat orang-orang Indian menghisap tembakau dengan menggunakan pipa dalam sebuah upacara tertentu sebagai lambang tata cara ramah tamah. Penggunaan pipa berbentuk “Y” yang disebut “tobacco” yang digunakan untuk menghisap tanaman yang cukup banyak mengandung racun ini menjadi dasar mengapa tanaman tersebut dinamakan tembakau (Basyir 2005).
Istilah botanical tembakau itu sendiri, berasal dari kata “nicotiana”, istilah ini diberikan dalam menghormati Duta Besar Perancis untuk Portugal yakni Jean Nicot yang telah mengirim bibit tembakau kepada permaisuri Prancis, Catherine de Medici. Penyebaran tembakau sendiri mulai diperkenalkan ke seluruh Asia dan Afrika pada abad ke-17 oleh para ahli perdagangan Eropa (Nainggolan, 2000).

2.1.2 Zat yang Terkandung dalam Rokok
Seperti yang telah di ulas diatas, terdapat dua bahan utama zat yang terkandung dalam setiap batang rokok yakni nikotin dan tar. Nikotin, didalam tubuh menyebabkan perangsangan sistem saraf simpatis. Perangsangan saraf simpatis (pelepasan adrenalin), berdampak pada peningkatan denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Selain itu nikotin mengaktifkan trombosit yang beresiko pada timbulnya adhesi trombosit (penggumpalan) ke dinding pembuluh darah termasuk pembuluh darah jantung. Adapun tar, disebut sebagai zat karsinogenik, karena ampas tar yang tersimpan terutama dalam saluran nafas akan mengubah struktur dan fungsi saluran nafas dan jaringan paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Sedangkan pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Hal ini yang memungkinkan terjadinya pembentukan sel kanker.
Selain kedua zat tersebut, masih terdapat zat-zat lain yang terkandung dalam rokok dan berakibat buruk terhadap sistem tubuh. Nainggolan (2000) mengungkapkan zat lain tersebut diantaranya :
Karbonmonoksida : merupakan sejenis gas yang tidak berbau yang dihasilkan dari pembakaran zat arang atau karbon yang tidak sempurna. Gas ini memiliki sifat racun yang dapat mengurangi kemampuan darah membawa oksigen. Hal ini disebabkan karena unsur ini memiliki kemampuan yang cepat untuk bersenyawa dengan haemoglobin, sehingga menggangu ikatan oksigen dengan haemoglobin, yang pada akhirnya menyebabkan suplai oksigen ke seluruh organ tubuh berkurang.
Arsenic : sejenis unsur kimia yang digunakan untuk membunuh serangga.
Nitrogen oksida : Unsur kimia ini dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan merangsang kerusakan dan perubahan kulit tubuh.
Ammonium karbonat : zat ini membentuk plak kuning pada permukaan lidah dan menggangu kelenjar makanan dan perasa yang terdapat dipermukaan lidah.
Ammonia : merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Ammonia ini sangat mudah memasuki sel-sel tubuh. Begitu kerasnya racun yang terdapat dalam zat ini sehingga jika disuntikan sedikit saja kedalam tubuh bisa menyebabkan seseorang pingsan.
Formic acid : jenis cairan yang tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat mengakibatkan lepuh. Cairan ini sangat tajam dan baunya menusuk. Zat ini dapat menyebabkan seseorang seperti merasa digigit semut. Bertambahnya zat ini dalam peredaran darah akan mengakibatkan pernafasan menjadi cepat.
Acrolein : sejenis zat tidak berwarna, seperti aldehid. Zat ini diperoleh dengan mengambil cairan dari gliserol dengan metode pengeringan. Zat ini seduikit banyak mengandung kadar alkohol. Cairan ini sangat menganggu bagi kesehatan.
Hydrogen cyanide : sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernapasan. Cyanide adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat berbahaya. Sedikit saja cyanide dimasukkan langsung ke dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian.
Nitrous oksida : sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terisap dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan mengakibatkan rasa sakit.
Formaldehyde : zat yang banyak digunakan sebagai pengawet dalam laboratorium (formalin).
Phenol : merupakan campuran yang terdiri dari kristal yang dihasilkan dari destilasi beberapa zat organic seperti kayu dan arang, selain diperoleh dari ter arang. Phenol terikat dengan protein dan menghalangi aktivitas enzim.
Acetol : hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak berwarna yang bebas bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol.
Hydrogen sulfide : sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oxidasi enxym (zat besi yang berisi pigmen).
Pyridine : cairan tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
Methyl chloride : adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu dimana hidrogen dan karbon merupakan unsurnya yang utama. Zat ini adalah merupakan compound organic yang dapat beracun.
Methanol : sejenis cairan ringan yang gampang menguap dan mudah terbakar. Meminum atau mengisap methanol dapat mengakibatkan kebutaan dan bahkan kematian.
2.1.3 Masalah yang Ditimbulkan Akibat Merokok
Melihat dari kandungan bahan-bahan kimia yang terdapat dalam rokok tersebut, sangat jelas bahwa rokok merupakan bahan yang sangat berbahaya bagi tubuh dan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan pada sistem yang ada dalam tubuh manusia. Bahkan WHO mencatat, zat-zat yang diuraikan diatas hanya merupakan sebagian kecil zat yang terkandung dalam setiap batang rokok, yang sebenarnya mengandung ± 4000 racun kima berbahaya. Hal ini menjelaskan bahwa rokok benar-benar sangat berbahaya bagi tubuh. Berbagai penyakit mulai dari rusaknya selaput lendir sampai penyakit keganasan seperti kanker dapat ditimbulkan bari perilaku merokok. Beberapa penyakit tersebut antara lain :
a. Penyakit paru
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru-paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) (Sianturi 2003). Bahkan kanker paru merupakan jenis penyakit paling banyak yang diderita perokok. Sekitar 90% kematian karena kanker paru terjadi pada perokok (Basyir 2005)
b. Penyakit jantung koroner
Seperti yang telah diuraikan diatas mengenai zat-zta yang terkandung dalam rorok. Pengaruh utama pada penyakit jantung terutama disebakan oleh dua bahan kimia penting yang ada dalam rokok, yakni nikotin dan karbonmonoksida. Dimana nikotin dapat mengganggu irama jantung dan menyebabkan sumbatan pada pembuluh darah jantung, sedangkan CO menyebabkan supply oksigen untuk jantung berkurang karena berikatan dengan Hb darah. Hal inilah yang menyebabkan gangguan pada jantung, termasuk timbulnya penyakit jantung koroner.
c. Impotensi
Tjokronegoro, seorang dokter spesialis andrologi universitas Indonesia mengungkapkan bahwa, nikotin yang beredar melalui darah akan dibawa keseluruh tubuh termasuk organ reproduksi. Zat ini akan menggangu proses spermatogenesis sehingga kualitas sperma menjadi buruk. Sedangkan Taher menambahkan, selain merusak kualitas sperma, rokok juga menjadi faktor resiko gangguan fungsi seksual terutama gangguan disfungsi ereksi (DE). Dalam penelitiannya, sekitar seperlima dari penderita DE disebabkan oleh karena kebiasaan merokok.
d. Kanker kulit, mulut, bibir dan kerongkongan
Tar yang terkandung dalam rokok dapat mengikis selaput lendir dimulut, bibir dan kerongkongan. Ampas tar yang tertimbun merubah sifat sel-sel normal menjadi sel ganas yang menyebakan kanker. Selain itu, kanker mulut dan bibir ini juga dapat disebabkan karena panas dari asap. Sedangkan untuk kanker kerongkongan, didapatkan data bahwa pada perokok kemungkinan terjadinya kanker kerongkongan dan usus adalah 5-10 kali lebih banyak daripada bukan perokok (Basyir 2005).
e. Merusak otak dan indera
Sama halnya dengan jantung, dampak rokok terhadap otak juga disebabkan karena penyempitan pembuluh darah otak yang diakibatkan karena efek nikotin terhadap pembuluh darah dan supply oksigen yang menurun terhadap organ termasuk otak dan organ tubuh lainnya. Sehingga sebetulnya nikotin ini dapat mengganggu seluruh system tubuh.
f. Mengancam kehamilan.
Hal ini terutama ditujukan pada wanita perokok. Banyak hasil penelitian yang menggungkapkan bahwa wanita hamil yang merokok meiliki resiko melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah, kecacatan, keguguran bahkan bayi meninggal saat dilahirkan.

2.1.4 Perilaku terhadap Rokok
Merokok merupakan istilah yang digunakan untuk aktivitas menghisap rokok atau tembakau dalam berbagai cara. Merokok itu sendiri ditujukan untuk perbuatan menyalakan api pada rokok sigaret atau cerutu, atau tembakau dalam pipa rokok yang kemudian dihisap untuk mendapatkan efek dari zat yang ada dalam rokok tersebut (Basyir, 2005). Menurut Leventhal dan Clearly terdapat 4 tahap seseorang menjadi perokok, diantaranya :
Tahap preparatory : seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat untuk merokok.
Tahap initiation : tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok.
Tahap becoming a smoker : apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang perhari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
Tahap maintenance of smoking : tahap ini perokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self-regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
Medical Research Council on Respiratory Symptoms 1986 dalam Kurniawati (2000), mengungkapkan bahwa:
“Seseorang dikatakan sebagai perokok adalah mereka yang merokok sedikitnya 1 batang perhari sekurang-kurangnya selama 1 tahun. Sedangkan bukan perokok merupakan orang yang tidak pernah merokok paling banyak 1 batang perhari selama 1 tahun”.

2.1.5 Tipe Perokok
Secara umum tipe perokok di bagi menjadi beberapa kategori yakni tipe perokok yang berhubungan dengan udara atau asap yang dihirup, tipe perokok berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi dalam 1 hari, dan tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan diri.
Berdasarkan udara atau asap yang dihirup, perokok dikategorikan menjadi: Perokok pasif yakni mereka yang tidak merokok, tetapi berada di sekeliling perokok dan menghirup asap rokok yang dihembuskan oleh perokok. Perokok aktif, yakni mereka yang menghisap rokok secara langsung (www.kppk.com). Adapun berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi, tipe perokok dikategorikan menjadi ; Perokok sangat berat, adalah jika mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari, Perokok berat yakni mereka yang merokok sekitar 21-30 batang perhari, Perokok sedang adalah perokok yang menghabiskan rokok 11-21 batang perhari, dan Perokok ringan yang merokok sekitar 10 batang/hari (Basyir 2005).
Sedangkan berdasarkan pengaruh perasaan diri, Tomkins mengkategorikan perokok menjadi ; Pertama, perokok yang dipengaruhi perasaan positif, dimana dengan merokok seseorang merasakan bertambahnya rasa positif. Green dalam psychological factor in smoking (1978) menambahkan, ada tiga sub pada tipe perokok ini : pleasure relaxation, yakni perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah diperoleh, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan. Stimulant to pick them up, yakni perilaku merokok dilakukan hanya sekedarnya untuk menyenangkan perasaan. Pleasure of handling the cigarette, yakni kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok, khususnya pada perokok pipa. Kedua, perokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif, dimana merokok dilakukan seseorang untuk mengurangi perasaan negatif seperti stress, marah, gelisah dan cemas. Maka rokok dianggap sebagai penenang, mereka menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan tidak enak yang dirasakan. Ketiga, perilaku merokok yang adiktif (kecanduan), dimana mereka yang akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan mencari rokok kapan pun mereka inginkan. Keempat, perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka merokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka. Tapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaan rutinnya. Merokok menjadi perilaku yang bersifat otomatis tanpa disadari (Basyir 2005).

2.2. Remaja dan Rokok
2.2.1 Batasan Remaja
Istilah remaja atau adolesccene berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti ”tumbuh” atau tumbuh dewasa. Istilah adolescene yang digunakan sampai sekarang ini mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1993)
Santoso, (1993) mendefinisikan remaja sebagai individu yang sedang mengalami perkembangan menuju kedewasaan. Mereka adalah anak-anak yang telah meninggalkan usia 11 tahun dan akan menuju usia 21 tahun. Usia remaja merupakan usia dimana individu mulai berinteraksi dengan masyarakat dan merasa berada sama dalam satu tingkat dengan orang yang lebih tua darinya termasuk dalam hal intelektualnya.
Secara umum masa remaja dibagi kedalam 3 tahap yang dilihat dari rentang usia. Sampai saat ini masih banyak perbedaan mengenai klasifikasi remaja tersebut. Gunarsa (2001) membagi tahapan masa remaja tersebut menjadi : remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun).
2.2.2 Karakteristik Remaja
Masa remaja mempunyai karakteristik yang khas, dimana semua tugas pekembangan pada masa ini dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Oleh sebab itu, masa remaja disebut juga sebagai periode peralihan, periode perubahan, periode bermasalah, periode pencarian identitas, dan periode tidak realistik. Pada periode pencarian identitas, remaja yang tidak ingin lagi disebut sebagai anak-anak, berusaha menampilkan atau mengidentifikasi perilaku yang menjadi simbol status kedewasaan. Salah satu perilaku yang muncul adalah perilaku merokok yang mereka anggap sebagai simbol kematangan, dimana perilaku ini seringkali dimulai pada usia sekolah menengah pertama (Hurlock 1993).
Handayani (2006) mengungkapkan bahwa secara umum, remaja memiliki tugas perkembangan yang harus dilaluinya dengan baik. tugas perkembangan tersebut antara lain :
1. Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif
Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu.
2. Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua
Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Hal tersebut tentunya akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya.
3. Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin
Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini.
4. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja ditanya mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut belum mengenal kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa remaja ini tentu saja akan menjadi masalah untuk tugas perkembangan selanjutnya (masa dewasa atau bahkan sampai tua sekalipun).
5. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi seperti “siapakah aku"?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak dalam dirinya.
Secara psikososial, remaja mulai memisahkan diri dari orangtua. Kebutuhan mereka akan kebebasan menyebabkan remaja lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya, sehingga keterikatan mereka dengan orangtua berkurang. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi sangat berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Melalui kelompok sebaya, remaja bisa melatih kecakapan sosial, karena melalui kelompok sebaya, remaja dapat mengambil berbagai peran (Mahreni dalam Soetjiningsih 2004).
Sangat besarnya pengaruh teman sebaya, maka dapat dimengerti bahwa teman sebaya sangat berpengaruh pada pembentukan sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku dibandingkan dengan keluarga (Hurlock, 1993).
Sedangkan secara emosional, telah diketahui bahwa masa remaja dianggap sebagai masa “badai dan topan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormonal. Hal ini dikuatkan dengan tekanan sosial yang menuntut remaja menampilkan pola kehidupan sosial yang baru. Untuk menghadapi hal tersebut sebagian besar remaja akan mengalami ketidakstabilan demi penyesuaian. Kondisi tersebut menurut Erikson (Edelman, 1990) diistilahkan sebagai kondisi stress pada remaja yang disebabkan perubahan fisik dan psikologis yang terjadi secara bersamaan.
2.3. Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
Sama halnya dengan penggunaan zat-zat (substance) lainnya, terdapat beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap penggunaan rokok atau perilaku merokok pada remaja.
Subanada (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa terdapat empat faktor resiko bagi remaja sehingga mereka menjadi perokok. Keempat faktor tersebut antara lain :
1. Faktor Psikologik
a. Faktor Psikososial
Aspek perkembangan sosial remaja antara lain: menetapkan kebebasab dan otonomi, membentuk identitas diri dan penyesuaian perubahan psikososial berhubungan dengan maturasi fisik. Merokok menjadi sebuah cara agar mereka tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman sebayanya. Istirahat, santai dan kesenangan, penampilan diri rasa ingin tahu rasa bosan, sikap menentang dan stress mengkontribusi remaja untuk mulai merokok. Selain itu rasa rendah diri, hubungan interpersonal yang kurang baik, putus sekolah sosial ekonomi yang rendah dan tingkat pendidikan orangtua yang rendah serta tahun-tahun pertama transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah juga menjadi faktor resiko lain yang mendorong remaja mulai merokok.
b. Faktor psikiatrik
Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan gangguan psikiatrik seperti skizofrenia, depresi, cemas dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Pada remaja, didapatkan asosiasi antara merokok dengan depresi dan cemas. Gejala depresi lebih sering pada remaja perokok daripada bukan perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja yang menperlihatkan gejala depresi dan cemas mempunyai resiko lebih besar untuk merokok dari pada remaja yang asimtomatik. Remaja dengan gangguan cemas menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami.
2. Faktor Biologik
a. Faktor Kognitif
Kesulitan untuk menghentikan kebiasaan merokok akibat dari kecanduan nikotin disebabkan karena perokok merasakan efek bermanfaat dari nikotin. Beberapa perokok dewasa mengungkapkan bahwa merokok memperbaiki konsentarsi. Telah dibuktikan bahwa deprivasi nikotin menganggu perhatian dan kemampuan kognitif, tetapi hal ini akan berkurang bila mereka diberi nikotin atau rokok. Studi yang dilakukan pada dewasa perokok dan bukan perokok, memperlihatkan bahwa nikotin dapat meningkatkan finger-tapping rate, respon motorik dalam tes fokus perhatian, dan pengenalan memori.
b. Jenis kelamin
Pada saat ini, peningkatan kejadian merokok tidak hanya terjadi pada remaja laki-laki. Begitupun dengan wanita, wanita yang merokok dilaporkan menjadi percaya diri, suka menentang dan secara social cakap.
c. Faktor Etnik
Kejadian merokok di Amerika Serikat cenderung lebih tinggi terjadi pada orang-orang kulit putih dan penduduk asli Amerika, serta terendah pada orang Amerika keturunan Afrika dan Asia. Laporan tersebut memberi kesan bahwa perbedaan asupan nikotin dan tembakau serta waktu paruh kotinin antara perokok dewasa Amerika keturunan Afrika dengan orang kulit putih adalah substansial. Hal ini dapat menjelaskan mengapa ada perbedaan resiko pada beberapa etnik dalam hal penyakit yang berhubungan dengan merokok.
d. Faktor genetik
Variasi genetik mempengaruhi fungsi reseptor dopamin dan enzim hati yang memetabolisme nikotin. Kensekuensinya adalah meningkatnya resiko kecanduan nikotin pada beberapa individu. Variasi efek nikotin dapat diperantarai oleh polimorfisme gen dopamin yang mengakibatkan lebih besar atau lebih kecilnya reward dan mudah kecanduan obat. Pada studi genetik molekular beberapa tahun terakhir, individu dengan alela TaqIA (A1 dan A2) dan TaqIB (B1 dan B2) dari reseptor dopamin D2 lebih mungkin merokok 100 kali atau lebih dalam hidupnya dan mereka lebih awal memulai merokok dan lebih sedikit meninggalkannya.
3. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orangtua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok. Selain itu juga karena paparan iklan rokok dimedia. Orangtua sepertinya memegang peranan penting, dalam pembentukan perilaku merokok remaja. Sebuah studi kohort terhadap siswa SMU didapatkan bahwa prediktor bermakna dalam peralihan dari kadang-kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orangtua perokok dan konflik keluarga.
4. Faktor Regulatori
Peningkatan harga jual atau diberlakukannya cukai yang tinggi, diharapkan dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok. Selain itu pembatasan fasilitas merokok dengan menetapkan ruang atau daerah bebas rokok diharapkan dapat mengurangi konsumsi. Akan tetapi kenyataannya masih terdapat peningkatan kejadian mulainya merokok pada remaja, walaupun telah banyak dibuat usaha-usaha untuk mencegahnya.
Hasil konsensus FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2000 tentang opiat, masalah media dan penatalaksanaannya, menyatakan terdapat dua hal yang menjadi faktor pendukung bagi seseorang untuk menggunakan zat aditif termasuk rokok yaitu faktor individu dan lingkungan (Oktariani, 2006).
Faktor individu, merupakan faktor yang muncul dari dalam diri remaja. Berkaitan dengan faktor individu, perilaku merokok remaja selalu diasosiasikan dengan ciri perkembangan mereka yakni rasa ingin tahu, proses identifikasi agar telihat seperti dewasa dan ingin terlihat gagah (Hurlock 1993). Sedangkan Erikson (Helmi&Komalasari 2006) mengungkapkan bahwa remaja mulai merokok karena adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa proses mencari jati diri. Ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial menyebabkan remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Mu’tadin (2002) yang mengatakan bahwa masa remaja dikenal sebagai masa storm and stress (masa badai dan penuh stress) dimana terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Merokok menjadi alternatif pilihan mereka karena dianggap dapat mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress. Aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang dapat memberikan kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan simbolisasi kejantanan atau kedewasaan (A.F Muchtar 2005).
Adapun faktor lingkungan, merupakan faktor eksternal yang berasal dari perilaku merokok seseorang, terutama perilaku merokok yang ada di keluarga keluarga (orangtua atau saudara kandung yang merokok), dan perilaku merokok teman sebaya. Selain itu, berbagai upaya dilakukan oleh para produsen rokok untuk mempengaruhi persepsi remaja terhadap rokok yang ditampilkan melalui iklan baik di media cetak maupun elektronik.
Berdasarkan teori-teori yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap rokok tersebut, bahasan akan dipersempit dengan hanya memfokuskan pada faktor stress, dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan.
2.3.1 Stress
Stress merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian antara harapan dan pencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional. Banyak hal yang dapat menyebabkan stress, terlambat dalam perjalanan, kecemasan akan kondisi keluarga, ataupun tugas yang sudah ditunggu pada batas waktu akhir. Ketidakmampuan mengatasi hal tersebut dengan baik akan direfleksikan melalui perasaan emosional seperti marah, tegang, cemas bahkan agresi. Padahal Earle mengungkapkan bahwa stress ini merupakan pergerakan energi “mobilized energy” yang diperlukan agar seseorang dapat berfikir lebih baik, sehingga dari ketidaksesuaian yang ada, seseorang dapat menganalisa masalah dan memperbaikinya (Groenewald 2006).
Kesulitan mencari alternatif pemecahan masalah dengan baik menjadi kendala yang sering dihadapi remaja. Kompensasi dari ketidakmampuan menyelesaikan masalah tersebut dialihkan dengan melakukan aktivitas yang mereka anggap dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Merokok menjadi pilihan karena efek relaksasi yang mereka dapatkan dari rokok, yang pada akhirnya berdampak pada kepuasan psikologis remaja (A.F Muchtar 2005). Kepuasan psikologis yang mereka dapatkan mendorong untuk mengulangi perilaku merokok tersebut setiap kali remaja berada dalam tekanan (stress). Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Atkinson (1991) dalam bukunya “Psikologi Perkembangan” bahwa dalam kondisi stress remaja akan cenderung untuk mengulangi perilakuknya.
Seseorang yang berada dalam tekanan (stress) mempunyai kemungkinan 2 kali lebih besar untuk menjadi perokok dan akan sulit untuk berhenti bahkan untuk mengatakan ingin berhenti dari aktivitas merokok tersebut. (Brandon 2000). Brandon menambahkan bahwa terdapat beberapa cara manajemen stress yang dapat diterapkan pada remaja sehingga dapat mengurangi kemungkinan remaja untuk merokok yang disebabkan demi mendapatkan ketenangan akibat dalam mengahdapi stres. Beberapa cara tersebut diantaranya, a). Remaja tidak menghindar dari permasalahan yang sedang dihadapi. b). Remaja lebih memperbanyak aktivitas yang positif. c) Membicarakan masalah dengan orang yang bisa membantu dalam penyelesaian. d) Menyadari bahwa stress merupakan bagian dari kehidupan.
2.3.2 Dukungan Keluarga
Anak-anak dengan orangtua perokok cenderung akan merokok dikemudian hari, hal ini terjadi paling sedikit disebabkan oleh karena dua hal: Pertama, karena anak tersebut ingin seperti bapaknya yang kelihatan gagah dan dewasa saat merokok. Kedua, ialah karena anak sudah terbiasa dengan asap rokok dirumah, dengan kata lain disaat kecil mereka telah menjadi perokok pasif dan sesudah remaja anak gampang saja beralih menjadi perokok aktif (Nainggolan, 2000). Bahkan dalam sebuah studi, dari para remaja perokok ditemukan bahwa 75% salah satu atau kedua orangtua mereka merupakan perokok (Soetjiningsih 2004).
Aditama mengungkapkan bahwa jumlah remaja perokok lima kali lebih banyak pada mereka yang orangtuanya merokok dibandingkan dengan orangtua yang tidak merokok (Basyir, 2005). Resiko munculnya perilaku merokok remaja didukung pula oleh perilaku merokok saudara kandung meraka. Remaja dengan orangtua dan saudara kandung perokok memiliki kemungkinan 4 kali lipat untuk menjadi perokok, apalagi jika mereka bersikap tidak melarang remaja untuk merokok (A.F Muchtar 2005).
Hasil penelitian Kurniawati (2003) mengenai perilaku merokok remaja di Cimahi, menerangkan bahwa keluarga menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok remaja. Faktor keluarga memberikan kontribusi terhadap perilaku merokok pada remaja sebesar 96,6%. Menurutnya perilaku merokok yang ditampilkan keluarga menjadikan remaja meniru perilaku tersebut, terlebih bila merokok sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga.
2.3.3 Dukungan Teman
Pada masa remaja, pola interaksi mereka lebih banyak dihabiskan dengan teman-teman sebayanya. Teman sebaya mempunyai peran yang sangat berarti karena pada masa tersebut remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan mulai bergabung dengan teman sebaya. Kebutuhan untuk dapat diterima sering kali membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima oleh kelompoknya. Sehingga dapatlah dimengerti bahwa remaja harus dapat menjalankan peran dan tingkah lakunya sesuai dengan harapan kelompok agar dapat tetap bergabung menjadi anggota kelompok. Mulai dari sikap, pembicaraan, minat dan penampilan remaja dituntut untuk sesuai dengan kelompoknya. Demikian pula jika mayoritas kelompok memiliki kebiasaan merokok, maka setiap anggotanya mau tidak mau akan dan harus mengikuti aktivitas tersebut tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri (Hurlock 1993).
Friedman dkk dalam hurlock 1993 mengungkapkan :
“Kekuasaan yang mempengaruhi anggota kelompok hampir menuntut pengawasan mutlak dari anggota kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan kelompok, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah”.

Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak remaja merokok, maka akan semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga. Fakta tersebut menyatakan 2 kemungkinan, yakni remaja yang terpengaruh oleh teman-temannya, atau teman-teman remaja tersebut dipengaruhi olehnya. Diantara remaja baik perokok maupun yang tidak merokok, 87 % memiliki satu atau lebih sahabat yang merokok (Basyir, 2005).
Kurniawati (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa lingkungan teman sebaya memberikan sumbangan efektif sebesar 93,8% terhadap munculnya perilaku merokok pada remaja. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa semakin banyak dukungan teman untuk merokok dapat mendorong seseorang untuk semakin menjadi perokok.
2.3.4 Dukungan Iklan
Untuk menjaring konsumen yang lebih banyak, para produsen rokok mempunyai cara yang handal. Berbagai iklan baik dalam bentuk reklame, poster maupun iklan dalam media elektronik ditampilkan dengan maksud untuk merangsang para konsumen mencoba produk yang mereka iklankan.
Berbagai istilah seperti low, light, mild pun digunakan produsen sehingga seolah-olah rokok itu aman dan jumlah kandungan zatnya lebih rendah. Akibatnya, para perokok merasa boleh merokok bahkan kemungkinan akan mengkonsumsi lebih banyak karena mereka menganggap rokok yang dikonsumsinya hanya mengandung sedikit zat. Padahal sebuah studi dalam Journal of The National Cancer Institute menyebutkan bahwa kandungan zat dalam rokok tersebut tidak berkurang sedikitpun. Bahkan jumlah tar dan nikotin yang dihisap dalam rokok tersebut ternyata 8 kali lebih tinggi daripada yang diiklankan (Basyir 2005).
Gambaran bahwa perokok merupakan lambang kejantanan dan glamour dengan diperankan oleh sosok idola remaja, menarik remaja untuk menjadi seperti idolanya dan diharapkan dapat mempengaruhi persepsi remaja tentang rokok (Kompas 2001). Bahkan Subanada (Soetjiningsih, 2004) memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa reklame atau iklan tembakau diperkirakan mempunyai pengaruh lebih kuat daripada pengaruh orangtua dan teman.
Selain berperan terhadap perubahan persepsi, iklan menjadi media penting bagi remaja dalam memperolah informasi seputar rokok. Syahrir (2004) dalam penelitiannya menegaskan bahwa sekitar 52,6% remaja mendapatkan informasi tentang rokok dari iklan terutama iklan di media elektronik.. syahrir gi adap perubahan persepsi, iklan menjadi media remaja dalam memperolah informasi tentang rokok yang kurang komitmen t
2.4. Peran Perawat
Berdasarkan hasil konsesus keperawatan tahun 1983 dalam gafar (2000).
“Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif serta ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus manusia. Keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Bantuan yang diberikan ditujukan kepada penyediaan pelayanan kesehatan utama (primary health care) dalam upaya mengadakan perbaikan pelayanan kesehatan sehingga memungkinkan setiap orang mencapai kemampuan hidup sehat dan produktif“.

Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa perawat memiliki peran yang sangat luas dalam menjalankan prakteknya. Dalam hal perilaku merokok, peran perawat berkaitan dengan upaya pencegahan perilaku merokok yang sedang bergulir dewasa ini. Program pencegahan tersebut didasarkan pada pendekatan psikososial yaitu; 1). Pendekatan pengaruh sosial dan 2). Pendekatan melatih cara menghadapi kehidupan.. Pendekatan pengaruh sosial didasarkan pada asumsi bahwa model tersebut adalah faktor utama dalam memulai perilaku merokok dan bahwa anak-anak dan remaja perlu diajarkan cara menahan tekanan sosial terhadap merokok.program yang didasarkan pada pendekatan ini memfokuskan pada; a). Membantu individu menjadi waspada terhadap pengaruh social yang mepromosikan penggunaan tembakau, dan b). Mengajarkan tehnik khusus agar tahan terhadap pengaruh tersebut seperi peran bermain, perilaku latihan dan peer leader. Sedangkan pedekatan melatih cara menghadapi kehidupan didasarkan pada asumsi bahwa yang menyebabkan merokok dan penggunaan zat-zat tertentu adalah kurangnya intelegensi personal dan sosial. Beberapa deficit personal yang bisa membuat seseorang menjadi peka terhadap penggunaan zat-zat tertentu adalah rasa rendah diri, kurang komunikasi dan sosialisasi, kurangnya motivasi untuk berprestasi dan kurangnya strategi untuk menghadapi stress. Program berdasarkan pedekatan ini memberikan pelatihan pada bidang; peningkatan rasa percaya diri, ketegasan, cara bekomunikasi, interaksi sosial, santai dalam menghadapi stress, pemecahan masalah dan membuat keputusan. Dengan bertumpu pada program tersebut perawat dapat menjalankan peran dan fungsinya baik sebagai health educator, provider, conselor dan fungsi lainnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi yakni jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, seberapa eratnya hubungan tersebut, serta berarti atau tidaknya hubungan itu (Arikunto,2002). Adapun tehnik pengambilan data dilakukan melalui pendekatan cross sectional melalui instrumen kuisioner.
3.2 Variabel
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2002). Dibagi menjadi dua yaitu variabel dependen (yang terpengaruh) dan variabel independen (variabel bebas / yang mempengaruhi).
Variabel independen (X) dalam penelitian ini adalah stress pada remaja, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan di mana kesemua item tersebut merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap rokok sebagai variabel dependen (Y) dalam penelitian ini.

3.3 Populasi dan Sample
3.3.1 Populasi
Populasi adalah sekumpulan objek yang menjadi pusat perhatian/ penelitian, yang daripadanya terkandung informasi yang ingin diketahui (Gulo, 2002). Perilaku merokok dikalangan remaja terutama terjadi pada remaja pria, sehingga penulis menetapkan bahwa populasi dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki di SLTP KP 10 yang berjumlah 488 orang siswa.
3.3.2 Sample
Sample adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Menurut Soekidjo Notoatmodjo, untuk populasi yang berjumlah kurang dari 10.000, maka besar jumlah sample dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
n : besar sample N : jumlah populasi d : tingkat kekeliruan (5 %)
Jadi besar sample adalah :
= 219,8 dibulatkan menjadi 220 orang.
47 Adapun tehnik sampling yang digunakan adalah proportionate stratified random sampling yaitu tehnik yang digunakan untuk menyempurnakan tehnik sampling berstrata dengan pengambilan sampelnya seimbang atau sebanding dengan jumlah subjek masing-masing strata, dengan menggunakan rumus menurut Notoatmodjo 2002 sebagai berikut:

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas didapatkan sample untuk tiap angkatan sebanyak :
Sample kelas I : 75 orang
Sample kelas II : 79 orang
Sample kelas III : 66 orang
Setelah didapatkan jumlah sample masing-masing angkatan, pengambilan sample dilakukan secara acak (random) melalui sistem pengundian.
3.4 Tehnik Pengumpulan Data
3.4.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Arikunto, 2005). Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuisioner.
Langkah awal dalam proses pengumpulan data adalah menentukan responden atau subjek yang akan diteliti. Berdasarkan tehnik sampling yang digunakan, subjek penelitian diambil dengan cara acak (random), yakni dengan mengundi responden berdasarkan data absensi siswa yang dikeluarkan instansi sekolah (SMP Karya Pembangunan). Setelah di undi dan diperoleh data siswa sesuai dengan jumlah sampel yang diperlukan tiap angkatan, siswa yang telah terpilih tersebut dikumpulkan dalam suatu tempat terpisah untuk kemudian menjadi responden dalam penelitian.
3.4.2 Instrumen penelitian
Instrument penelitian, merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data (Arikunto, 2005). Untuk variable stress instrument pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk skala, yakni sebuah pengumpul data yang berbentuk seperti daftar cocok dengan alternative jawaban yang disediakan merupakan sesuatu yang berjenjang. Pengkajian stress dilakukan dengan membuat pertanyaan dengan jawaban berbentuk gradasi dari satu jenis kualitas (tingkat kualitas keseringan), dari mulai selalu, sering, jarang dan tidak pernah. Instrument untuk mengkaji variable stress yang digunakan dalam penelitian ini, merupakan instrument baku yang dikembangkan oleh Andrea Groenwald, yang telah di alih bahasakan kedalam bahasa Indonesia.
Sedangkan untuk variabel dukungan keluarga, dukungan teman dukungan iklan dan perilaku remaja terhadap rokok, instrument yang digunakan adalah angket tertutup dalam bentuk checklist, yakni angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden tinggal memberikan tanda centang / checklist (√) pada kolom jawaban yang sesuai (Arikunto 2005).
3.5 Rancangan Analisis Hasil Data Penelitian
Analisa data dilakukan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan serta untuk menguji secara statistik kebenaran dari hipotesis yang telah ditetapkan. Adapun untuk melakukan analisis data diperlukan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap antara lain :
1. Pengkodean Data (data coding)
Pengkodean dapat merupakan suatu penyusunan data mentah (yang ada dalam kuisioner) kedalam bentuk yang mudah dibaca oleh komputer.
2. Pemindahan Data ke Komputer (data entering)
Data entering adalah memindahkan data yang telah diubah menjadi kode kedalam mesin pengolah data. Caranya adalah dengan membuat coding sheet (lembar kode), direct entry ataupun optical scan sheet.
3. Pembersihan Data (data cleaning)
Data cleaning adalah memastikan bahwa data yang telah masuk sesuai dengan yang sebenarnya. Prosesnya dilakukan dengan cara possible code cleaning (melakukan perbaikan kesalahan pada kode yang tidak jelas/ tidak munghkin ada akibat salah memasukan kode, contingency cleaning dan modifikasi (melakukan pengkodean kembali / recode data yang asli.
4. Penyajian Data (data output)
Data output merupakan data hasil pengolahan, yang disajikan baik dalam bentuk numeric maupun grafik.
5. Penganalisisan Data (data analyzing)
Langkah selanjutnya adalah analisis data, yakni proses pengolahan data untuk melihat bagaimana menginterpretasikan data, kemudian menganalisis data dari hasil yang sudah ada pada tahap hasil pengolahan data. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
3.5.1 Analisa Univariat
Untuk variable stress, pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala likert, yakni dengan menganalisa seberapa sering remaja mengalami situasi / gejala yang menunjukan stress, dengan point penilaian (3) selalu (2) sering (1) kadang-kadang (0) tidak pernah. Kemudian setelah ditabulasikan, hasil dikategorikan berdasarkan kategori stress menurut Groenewald (2006) menjadi :
Skor antara 0 – 20 : stress ringan
Skor antara 20 – 40 : stress sedang
Skor antara 40 – 60 : stress berat
Sedangkan angket yang digunakan untuk mengukur tentang dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan setiap jawaban Ya diberi nilai 1 (satu), dan jawaban Tidak diberi nilai 0 (nol). Tiap responden akan memperoleh nilai sesuai pedoman penilaian tersebut.
Analisa data untuk variable dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan, dimana hasil ukur dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu ada dan tidak ada, dilakukan dengan menggunakan rumus T skor median. Adapun rumus tersebut adalah sebagai berikut :
Keterangan :
X = Skor responden pada varibel yang hendak diubah menjadi skor T
X = Mean skor kelompok
S = Deviasi standar skor kelompok
Kemudian hasil perhitungan di tafsirkan dengan kriteria :
Apabila : T ³ 50 skor T = ada dukungan
T < 50 skor T = tidak ada dukungan
3.5.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variable yaitu variabel independent dan dependen. Sesuai dengan tujuan penelitian maka analisa bivariat ini meliputi hubungan antara stress pada remaja, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung. Dalam hal ini analisa data masing-masing variabel menggunakan uji chi square, adapun rumus uji ini adalah :
Keterangan : X Chi Square
f = Frekuensi Observasi
f = Frekuensi Harapan
Kemudian hasil X2 hitungan dibandingkan dengan X2 tabel dengan tarap signifikan 5 % dan dk = 1 dan 2 (X2 tabel = 3,481 dan 5,591). Bila hasil X2 hitungan lebih besar dari X2 tabel berarti didapatkan hubungan signifikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa H1 diterima (berarti ada hubungan antara stress pada remaja, dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan dengan perilaku merokok pada siswa).
Selain itu bisa juga dengan menggunakan cara probabilistic, yakni dengan menggunakan SPSS for windows 13,0 dapat dihitung nilai P (P value), dengan taraf kesalahan 5% (α = 0.05). Jika P value < dari 0,05, maka dapat dinyatakan bahwa H1 diterima yang berarti terdapat hubungan antara variable dependen dan variable independent.
Selanjutnya untuk mengetahui derajat hubungan antara variable stress pada remaja, dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, digunakan analisa contingensi coefficient (nilai C), bila nilai C mendekati nilai C maksimal maka keeratan hubungan bersifat erat. Adapun rumus contingensy coefficient adalah :
Keterangan :
C = Koefisien kontingensi
X2 = Harga dari kontingensi yang diperoleh
N = Jumlah sampel
Interpretasi makin dekat harga C kepada C maksimal, maka makin besar derajat kontribusi antara variable. Dengan kata lain, variable yang satu makin berkaitan dengan variable yang lain. Sugiyono 2005 mengkategorikan tingkat hubungan atau keeratan antara kedua variabel sebagai berikut :
Tabel : Pengkategorian Tingkat Hubungan
Korelasi
Kriteria
0,00 – 0,199
0,20 - 0,399
0,40 - 0,599
0,60 - 0,799
0,80 - 1,000
Hubungan sangat tidak erat / bisa diabaikan
Hubungan tidak erat
Hubungan sedang
Hubungan erat
Hubungan sangat erat
3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
3.6.1 Uji validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengukur sejauh mana tingkat kesahihan suatu instrumen. Uji validitas ini dilakukan terhadap setiap item pertanyaan yang diajukan. Tehnik uji validitas terdiri dari 2 bentuk yakni validitas logis dan vaklditas empiris. Adapun validitas logis terbagi lagi menjadi 2 bentuk yakni validitas isi / contens validity (instrumen yang dibuat sesuai dengan isi yang akan diungkap) dan validitas konstruksi / construct validity (instrumen dibuat dalam bentuk yang mudah dipahami disesuaikan dengan aspek yang akan di ungkap). Sedangkan validitas empiris, yakni tehnik uji validitas dimana setelah instrumen dibuat, kemudian di uji dan diolah melalui rumusan perhitungan (Arikunto, 2005).
Untuk mengukur tingkat stress instrumen yang digunakan merupakan instrumen baku yang dikembangkan oleh Andrea Groenewald yang kemudian di alih bahasakan ke bahasa Indonesia, tehnik uji valitidas empiris untuk veriabel stres yang memiliki skala ordinal dengan skor berupa tingkatan, digunakan rumus koefisien validitas dengan korelasi item total (Azwar, 2001) dengan rumus sebagai berikut ;
Keterangan :
Koefisien korelasi skor item-total sebelum dikoreksi
Deviasi standar skor suatu item
Deviasi standar skor tes.
Adapun untuk instrumen yang digunakan untuk mengukur variable dukungan keluarga, teman, dan dukungan iklan, tehnik uji validitas empiris yang digunakan adalah tehnik koefisien “Korelasi Point Biserial”, karena tipe jawaban setiap item pertanyaan berupa 2 alternatif jawaban (dikotomis yang diberi nilai 1 & 0) dengan skala nominal (Arikunto, 2005).
Masrun (Sugiyono 2005) mengungkapkan bahwa item pertanyaan yang dikatakan valid jika r minimum = 0,30. semakin positif dan semakin besar nilai r, maka item tersebut dikatakan semakin valid.
Dalam penelitian ini, uji coba instrumen dilakukan sebanyak 2 kali. Pertama, uji coba dilakukan di SMP Karya Pembangunan 10 dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Adapun hasil perhitungan terlampir. Untuk instrumen yang kedua, dilakukan karena hasil uji coba instrumen yang pertama menunjukan bahwa instrumen yang di buat belum layak untuk dijadikan alat penelitian. Untuk itu dilakukan revisi atau perbaikan terhadap instrumen yang tidak valid, dan kemudian instrumen tersebut di uji coba-kan kembali di tempat yang berbeda yakni di SMP Gunadharma, dengan jumlah responden sebanyak 20 orang. Adapun data hasil uji coba instrumen terlampir.
3.6.2 Uji reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana tingkat kekonsistenan pengukuran dari suatu responden ke responden yang lain atau dengan kata lain sejauh mana pertanyaan dapat dipahami sehingga tidak menyebabkan beda interpretasi dalam pemahaman pertanyaan tersebut. Sekumpulan pertanyaan untuk mengukur suatu variabel dikatakan reliabel dan berhasil mengukur variabel yang kita ukur jika koefisien reliabilitasnya lebih dari atau sama dengan 0,700 (Kaplan & Saccuzo, 1993). Uji reliabilitas dilakukan setelah setiap item dalam alat ukur terbukti valid atau setelah item yang tidak valid dihilangkan.
Untuk menguji reliabilitas instrumen stres, digunakan formulasi Alpha Crounch Bach (Azwar, 2001)
Sedangkan untuk instrumen dukungan keluarga, dukungan teman sebaya, dan dukungan iklan, dimana tipe jawaban berbentuk dikotomis dengan skor item jawaban Ya bernilai (1) dan skor item jawaban Tidak bernilai (0). Tehnik uji reliabilitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan rumus koefisien ”Reliabilitas Kuder dan Ricarhdson” (K-R 20) (Arikunto 2005).
Kriteria reliabilitasnya adalah jika KR-20 ³ 0,70 maka dimensi kuesioner reliabel (konsisten) dan jika KR-20 < 0,70 maka dimensi kuesioner tidak reliabel.
Hasil uji reliabilitas untuk instrumen stres diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,820 untuk uji coba pertama dan 0,868 untuk uji coba yang kedua. Untuk instrumen dukungan keluarga menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,708, sedangkan untuk instrumen dukungan teman menunjukan koefisien korelasi sebesar 0,837, dan untuk instrumen dukungan iklan menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,714. Dengan demikian, maka instrumen penelitian ini dikatakan reliabel (hasil lengkap dapat dilihat pada lampiran).
3.7 Langkah-Langkah Penelitian
3.7.1 Tahap Persiapan
Proses yang dilalui dalam tahap ini adalah mengadakan studi pendahuluan, studi kepustakaan, memilih topik penelitian, penentuan lahan, penyusunan proposal penelitian, seminar proposal, ujicoba dan perbaikan instrumen.

3.7.2 Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap ini dilakukan proses mendapatkan ijin penelitian, mendapatkan informed consent dari responden, melakukan pengumpulan data dan melakukan pengolahan dan analisa data.
3.7.3 Tahap Akhir
Pada tahap akhir penelitian ini dilakukan penyusunan laporan penelitian dan penyajian hasil penelitian.
3.7.4 Perlindungan terhadap Subyek Penelitian
Hak-hak subyek penelitian harus dilindungi dan mengacu pada :
1. Kesediaan menjadi responden
2. Kebebasan pribadi, tidak ada paksaan
3. Tanpa indentitas serta dijaga kerahasiaan
4. Perlakuan yang wajar
5. Terlindung dari ketidak-nyamanan dan hal yang membahayakan.
3.8 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di institusi sekolah {SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung}, dengan rencana penelititian dilaksanakan tanggal 14 – 16 Agustus 2006.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian untuk mengetahui hubungan antara tingkat stress pada remaja, dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan Iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya pembangunan (KP) 10 Bandung yang dilaksanaka pada bulan Agustus 2006, dengan jumlah responden sebanyak 220 responden yang terbagi menjadi : sebanyak 75 responden kelas satu, 79 responden kelas dua, dan 66 responden kelas tiga. Dalam pembahasan ini akan dibahas dua bagian yaitu hasil penelitian dengan analisis univariat, dan hasil penelitian dengan analisis bivariat, yang selanjutnya dibagi dalam sub Bab 4.1, dan sub Bab 4.2 sebagai berikut.

4.1 Hasil penelitian dengan analisis univariat
Dalam sub Bab ini, akan dijelaskan dalam tabel secara rinci untuk tiap variabel, dimana terdiri dari lima variabel, yaitu variabel perilaku remaja terhadap rokok, dukungan keluarga, dukungan teman dekat, dukungan iklan, dan stress.

4.1.1 Ditribusi Perilaku Respoden terhadap Rokok
Hasil analisis mengenai perilaku responden terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
47
61
Tabel 4.1.1 Distribusi Perilaku Responden terhadap rokok
Kategori
Jumlah Responden (orang)
Persentase (%)
Merokok
6027,27Tidak Merokok16072,73Total220100,00Sumber : Olah Data
Berdasarkan data tabel 4.1 tentang perilaku responden terhadap rokok, bahwa sebagian besar responden (72,73%) tergolong ke dalam kategori bukan perokok.
4.1.2 Distribusi Stress Responden
Hasil analisis mengenai tingkat stress responden di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.1.2 Distribusi Stress Responden
Kategori
Jumlah Responden (orang)
Persentase (%)
Ringan
4..3,82Sedang7031,82Berat14666,36Total220100,00Sumber : Olah Data
Berdasarkan data tabel 4.2 tentang distribusi tingkat stres pada responden, terdapat kecenderungan remaja mengalami stres berat. Hal ini ditunjukan dengan sebagian besar remaja (66,36%) berada dalam kategori stres berat.
4.1.3 Distribusi Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Dukungan Iklan Pada Responden
Hasil analisis mengenai dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan untuk merokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.1.3 Distribusi Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Iklan Pada Responden
Sumber : Olah Data
Berdasarkan data tabel 4.3 tentang dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan pada responden, dapat dilihat bahwa pada variabel dukungan keluarga 163 responden (74,09%) tergolong ke dalam responden yang memiliki keluarga yang mendukung untuk merokok, dan 57 responden (25,91%) sisanya tergolong ke dalam responden yang memiliki keluarga yang tidak mendukung untuk merokok. Sedangkan untuk variabel dukungan teman, 84 responden (38,18%) tergolong ke dalam responden yang memiliki Teman Dekat yang mendukung untuk merokok, dan 136 responden (61,82%) sisanya tergolong ke dalam responden yang memiliki Teman Dekat yang tidak mendukung untuk merokok. Adapun untuk variabel dukungan iklan, 28 responden (12,73%) tergolong ke dalam responden yang mendapatkan dukungan iklan untuk merokok, dan 192 responden (87,27%) sisanya tergolong ke dalam responden yang tidak mendapatkan dukungan iklan untuk merokok.
4.2 Hasil penelitian dengan analisis Bivariat
Dalam sub Bab ini, akan dijelaskan dalam tabel secara rinci “Hubungan antara tingkat Stress, Dukungan Keluarga, Dukungan Teman, dan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.

4.2.1 Analisis Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Hasil analisis mengenai hubungan tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.1 Analisis Hubungan tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Stres
Berdasarkan tabel tabulasi silang mengenai hubungan antara tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap rokok di atas, didapatkan informasi bahwa hasil uji chi-square sebesar 8,232. Adapun χ2 tabel dengan db = 2 dan α = 0,05 yakni sebesar 5,591. Hal ini menujukan bahwa nilai χ2 hitung > χ2 tabel, yang berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa “Terdapat Hubungan antara tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP”. Selain itu, untuk menolak Ho, dapat pula dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) < α (0,05). Adapun untuk melihat tingkat keeratan hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,27 yang berarti hubungan tidak erat tapi pasti.
Data perhitungan chi-square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.

4.2.2 Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Hasil analisis mengenai hubungan dukungan keluarga, dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.2 Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Kategori Dukungan Keluarga
Perilaku Remaja Terhadap Rokok
Total
X2P valueCCMerokokTidak MerokokF %f 2,467

Berdasarkan data tabulasi silang mengenai hubungan dukungan teman dengan perilaku remaja terhadap rokok di atas dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square (χ2 hitung) sebesar 39,19. Adapun nilai χ2 tabel dengan db = 1 dan α (0,05) adalah 3,841. Hal ini menunjukan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel, yang berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa “Terdapat Hubungan yang Signifikan antara dukungan teman dengan perilaku remaja terhadap rokok”. Nilai chi square tersebut diperkuat dengan hasil perhitungan P value (0,000 ) < α (0,05). Adapun untuk melihat kuatnya hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,55 yang berarti hubungan sedang.
Data perhitungan chi square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Hasil analisis mengenai hubungan dukungan iklan, dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Kategori Dukungan Iklan
Perilaku Remaja Terhadap RokokTotalX2P valueCCMerokokTidak Merokok
Berdasarkan tabulasi silang di atas mengenai hubungan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square (χ2 hitung) sebesar 31, 583. Adapun χ2 tabel dengan db = 1 dan α = 0,05 yakni sebesar 3,841. Dengan demikian terlihat bahwa nilai χ2 hitung > χ2 tabel, yang berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa “Terdapat Hubungan antara dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok”. Selain itu, untuk menolak Ho, dapat pula dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) < α (0,05). Adapun untuk melihat kuatnya hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,55 yang berarti hubungan sedang.
Data perhitungan chi square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pembahasan Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai stres, diperoleh hasil bahwa, “Terdapat hubungan antara tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung”. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Brandon (2000), bahwa seseorang yang berada dalam kondisi stress mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menjadi perokok, bahkan akan mengalami kesulitan untuk berhenti dari perilakunya tersebut. Dikatakan A.F Muchtar (2005) dalam bukunya bahwa aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang dapat memberikan kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan simbolisasi kejantanan atau kedewasaan. Aktivitas merokok menjadi penyeimbang mereka dalam kondisi stress. Dengan kata lain berdasarkan pandangan Leventhal dan Clearly (Helmi & Komalasari, 2006), kemungkinan remaja telah masuk kedalam tahap bukan saja sebagai become a smoker tetapi telah masuk pada tahap maintenance of smoking, dimana merokok sudah menjadi salah satu cara dalam pengaturan hidup. Seorang ahli (Brandon, 2000) mengatakan terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan remaja untuk bisa mengalihkan kebiasaan merokok disaat stres diantaranya, a). Remaja tidak menghindar dari permasalahan yang sedang dihadapi. b). Memperbanyak aktivitas yang positif. c) Membicarakan masalah dengan orang yang bisa membantu dalam penyelesaian. d) Menyadari bahwa stress merupakan bagian dari kehidupan.
4.3.2 Pembahasan Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan keluarga, didapatkan hasil bahwa “Tidak Terdapat Hubungan yang Signifikan antara Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung”. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa keluarga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok pada remaja. Dalam penelitian ini walaupun didapatkan bahwa sebagian besar remaja mendapatkan dukungan keluarga untuk merokok, akan tetapi tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga denga perilaku remaja terhadap rokok. Begitu pula dengan apa yang diungkapkan oleh A.F Muchtar (2005) yang mengatakan bahwa perilaku merokok remaja berkaitan dengan dukungan dari keluarga, dimana keluarga perokok akan menyebabkan anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi perokok pula.
Dalam hal ini kemungkinan yang terjadi adalah terdapat faktor lain yang lebih penting yang mendukung remaja untuk merokok. Karena, secara psikososial Mahreni (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa pada periode masa remaja keterikatan remaja dengan keluarga terutama orangtua mulai melemah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemungkinan keluarga bukan lagi menjadi role model yang utama bagi remaja. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lingkungan rumah, dan nilai-nilai yang mereka anut lebih tertuju pada nilai yang mereka anggap ideal yang sesuai dengan lingkungan dimana mereka biasa berkumpul.
4.3.3 Pembahasan Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung.
Berdasarkan penelitian mengenai dukungan teman didapatkan bahwa “Terdapat Hubungan yang Signifikant antara Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung”. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa dukungan teman memberikan sumbangan efektif terhadap munculnya perilaku merokok pada remaja sebesar (93,8%) (Kurniawati, 2003). Teman sebaya menjadi sesuatu yang sangat penting bagi remaja. Adanya kebutuhan untuk dapat diterima dan diakui sebagai anggota kelompok menjadi alasan mereka untuk mengikuti perilaku yang ada pada kelompok, termasuk perilaku merokok.
Friedman dalam Hurlock (1993) mengatakan bahwa “Kekuasaan yang mempengaruhi anggota kelompok hampir menuntut pengawasan mutlak dari anggota kelompok terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan setiap anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan kelompok, atau kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah”.
Dengan kata lain dapat digambarkan bahwa adaptasi atau penyesuaian perilaku remaja dengan perilaku yang umum ada pada kelompok merupakan suatu cara agar remaja tidak berada dalam tekanan. Karena adanya penyimpakan nilai antara remaja dengan nilai yang dianut kelompok bisa menyebabkan remaja tidak lagi mendapatkan pengakuan sebagia anggota kelompok.
4.3.4 Pembahasan Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP KP 10 Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan iklan diketahui bahwa “Terdapat hubungan antara dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung”. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Subanada (Soetjiningsih, 2004) yang menjelaskan bahwa iklan rokok mempengaruhi persepsi siswa tentang rokok. Gambaran glamour, lambang kejantanan yang ditampilkan oleh sosok idola remaja merangsang remaja untuk mengikuti perilaku yang diperankan sosok idola remaja tersebut yakni perilaku merokok. Handayani (2000) menjelaskan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai, dimana skala nilai tersebut diperoleh remaja melalui indentifikasi dari orang yang diidolakan olehnya. Sehingga perilaku sang idola sangat mudah diadopsi oleh remaja, salah satunya adalah perilaku merokok yang ditampilkan sang idola dalam iklan.
Selain itu, iklan merupakan media informasi yang baik bagi remaja. Akan tetapi, tidak semua informasi yang remaja dapatkan memiliki nilai yang positif. sala satunya adalah istilah yang digunakan dalam iklan ataupun kemasan rokok yang mengambarkan seolah-olah rokok merupakan produk yang aman karena kandungan zat yang terdapat dalam rokok tersebut lebih rendah. Sehingga pada akhirnya remaja merasa boleh untuk merokok bahkan kemungkinan mengkonsumsi lebih banyak yang akan berdampak pada ketergantungan.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memiliki beberapa keterbatasan antara lain;
Instrumen dalam peneltian berupa kuisioner, sehingga terdapat kemungkinan anak akan menjawab tidak berdasarakan apa yang terjadi sesungguhnya, karena anak akan merasa takut apa yang mereka isi diketahui pihak sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti sudah melakukan antisipasi dengan melakukan pendekatan pada siswa dan melakukan informed concent untuk meyakinkan siswa bahwa identitas mereka dirahasiakan.
Tidak ada instrumen yang khusus untuk mengungkap variabel yang akan diteliti. Penulis hanya mengembangkan teori yang ada. Untuk mengantisipasi adanya instrumen yang kurang baik, penulis mencoba membuat kisi-kisi instrumen terlebih dahulu, dan melakukan pengujian terhadap instrumen yang dibuat, untuk melihat layak tidaknya istrumen digunakan dalam penelitian.
Untuk instrumen stres, dimana instrumen diadopsi dari instrumen yang dikembangkan oleh Groenewald (dalam bentuk bahasa inggris), idealnya instrumen tersebut dikonsultasikan dengan ahli bahasa. Sedangkan penulis hanya melakukan proses translasi sendiri oleh penulis. Akan tetapi untuk mengurangi kemungkinan adanya ketidak cocokan penggunaan instrumen tersebut, penulis mencoba mengantisipasi hal tersebut dengan melakukan uji instrumen dan mengkonsultasikan instrumen tersebut kepada pembimbing. akan menjawab tidak berdasarakan apa yang terjadi sesungguinstru
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 14 – 16 Agustus 2006 mengenai Hubungan antara Tingkat Stress Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dapat ditarik kesimpulan;
1. Hanya sebagian kecil remaja SLTP KP 10 Bandung yang teridentifikasi sebagai perokok.
2. Sebagian besar remaja SLTP KP 10 Bandung berada pada kategori stres tingkat berat.
3. Sebagian besar remaja SLTP KP 10 Bandung mendapatkan dukungan dari keluarga untuk merokok.
4. Hampir setengahnya remaja SLTP KP 10 Bandung mendapatkan dukungan dari teman untuk merokok.
5. Hanya sebagian kecil dari remaja SLTP KP 10 Bandung yang mendapatkan dukungan iklan untuk merokok
6. Tidak terdapat Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung. Akan tetapi sebagian besar keluarga mendukung remaja untuk merokok.
7.
73Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Stress dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dengan keeratan hubungan tidak erat tetapi pasti.
8. Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dengan keeratan hubungan atau cukup berarti,
9. Terdapat Hubungan yang signifikan (positif) antara Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, dengan keeratan hubungan atau cukup berarti.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, agen sosialisasi perilaku merokok dalam penelitian ini adalah lingkungan teman sebaya dan iklan. Selain itu perilaku merokok berkaitan juga dengan aspek emosional yakni stress. Untuk itu saran dari penelitian ini :
5.2.1 Untuk Instansi Pendidikan (SLTP KP 10 Bandung)
Sekolah sebagai tempat remaja menghabiskan sebagian besar waktunya menjadi tempat yang baik untuk proses transfer perilaku dari masing-masing anggota masyarakat didalamnya termasuk remaja sebagai bagian dari masyarakat sekolah. Untuk mengantisipasi transfer perilaku negatif termasuk perilaku merokok, salah satunya diperlukan kegiatan positif yang bersifat kelompok yang dapat mengalihkan remaja dari perilaku merokok, misalnya dengan mengadakan kegiatan ekstrakulikuler olahraga. Selain itu diperlukan peran dari dewan guru, terutama bagian bimbingan konseling untuk memberikan bimbingan agar remaja bisa lebih disiplin dalam bergaul dan memilih teman.
Adapun dilihat dari segi emosional, remaja merokok berkaitan dengan stres, untuk itu diperlukan adanya pembinaan suatu hubungan yang baik antara guru dan remaja, dengan harapan remaja bisa lebih terbuka akan masalah yang dihadapinya dan guru bisa membantu remaja dalam mencari penyelesaian dari masalah yang menimbulkan stres pada remaja. .
5.2.2 Untuk Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi maupun pelayanan kesehatan yang komprehensif baik bio-psiko-sosial dan spiritual. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan suatu kondisi dimana terdapat kecenderungan remaja mengalami stres, yang pada akhirnya dapat berujung pada upaya kompensatoris remaja menanangi stres tersebut dengan merokok. Sehingga, itu diperlukan upaya preventif maupun kuratif yang lebih menekankan pada pendekatan emosional / afeksional, dengan memberikan penyuluhan maupun pelatihan mengenai manajemen stres pada remaja, selain pendekatan kognitif berupa pemberian informasi akan bahaya atau dampak negatif dari merokok.
5.2.3 Untuk Peneliti dan Penelitian Selanjutnya
Dalam penelitian ini tidak didapatkan faktor mana yang paling dominan yang berhubungan dengan perilaku remaja, untuk itu diperlukan penelitian lanjutan yang mengkaji hal tersebut. Selain itu, ditemukan bahwa tingkat stres pada remaja di SLTP KP 10 sebagian besar berada pada tingkat stres yang berat, untuk itu diperlukan penelitian lanjutan mengenai faktor apa yang menyebabkan tingginya tingkat stres pada remaja tersebut.



Penelitian : “Hubungan antara Anemia dengan Status Gizi pada Siswa SMU A
A. Judul Penelitian : “Hubungan antara Anemia dengan Status Gizi pada Siswa SMU A:
B. Latar Belakang Masalah
Berbagai masalah gizi di Indonesia salah satunya anemia pada anak SMU. Faktor-faktor yang menyebabkan anemia, antara lain: kurang Fe, kurang vitamin B12 atau asam folat, keadaan ekonomi sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan makanan yang bergizi, asupan makanan berkurang, kadar tubuh rendah. Untuk mengatasi keadaan ini juga diberikan suplemen zat besi untuk meningkatkan kadar tubuh. Bahaya pada anemia akan menyebabkan BBLB, lesu, wajah pucat, nafsu makan kurang, cepat lelah.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan anemia dengan status gizi pada siswa SUM?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadi anemia?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengurangi terjadinya anemia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan untuk deteksi anemia.
b. Mengetahui status gizi siswa
c. Mengetahui hubungan anemia terhadap status gizi
E. Manfaat Penelitian
Memberikan informasi tentang anemia kepada siswa SMU A
F. Kerangka Konsep
Faktor Penyerta
Melabsorbsi Fe, Vitamin B12 dan asam folat
Faktor Resiko
- Keadaan ekonomi
- Kebiasaan makan
Status gizi Siswa:Kadar Hb
Anemia
Status gizi Siswa
Kadar Hb:Anemia
= variable yang diteliti
= variable yang tidak diteliti
G. Kerangka Teori
H. Hipotesis
Ada hubungan anemia dengan status gizi siswa SMU 2 Sukoharjo
I. Metode Penelitian
1. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional.
2. Populasi dan Sampel
Populasi adalah siswa SMU yang berusia 17 tahun sebanyak 50 orang.
Sampel adalah siswa yang diambil secara random sampling dengan sampel sebanyak 40 orang.
3. Variable Penelitian
Variable bebas : Anemia
Variable terikat : status gizi siswa SMU
4. Cara Pengumpulan Data
a. Wawancara
b. Pengukuran antropometri
c. Pengukuran kadar Hb
HUBUNGAN NILAI KESUKSESAN, EKSPEKTANSI KESUKSESAN, DAN MOTIVASI BERPRESTASI REMAJA MISKIN PUSAT PENGEMBANGAN ANAK COMPASSION-MALANG
Salah satu penyebab kemiskinan adalah adanya culture of poverty dan streotipe orang miskin tidak bisa maju, yang menyebabkan masyarakat miskin tidak memiliki keinginan atau keyakinan untuk sukses. Lingkungan budaya dan streotip miskin mungkin memeri pengaruh negatif pada motivasi berprestasi, nilai dan ekspektansi remaja miskin terhadap kesuksesan. Namun bila melihat ciri-ciri remaja pada umumnya, dimana remaja cenderung idealis, memiliki pemikiran fantasi ke depan dan memiliki nilai pribadi yang kadang tidak sesuai dengan orang dewasa atau lingkungannya, mungkin saja remaja miskin tidak terimbas pengaruh budaya dan streotip kemiskinan dari lingkungan. Kesenjangan pendapat ini merupakan bagian latar belakang permasalahan penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah untuk; (1) mengetahui bagaimana ekspektansi kesuksesan, nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion (2) mengetahui adakah hubungan antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion (3) mengetahui adakah hubungan antara ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion (4) mengetahui adakah hubungan antara nilai kesuksesan, espektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan, sedangkan variabel terikat adalah motivasi berprestasi. Penelitian ini didasari dengan rancangan penelitian lapangan dengan pendekatan kuantitatif. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala nilai kesuksesan, skala ekspektansi kesuksesan dan skala motivasi berprestasi. Populasi pada penelitian ini adalah remaja yang hidup dalam kemiskinan ekonomi, yang terdaftar dalam Pusat Pengembangan Anak Yayasan Compassion Indonesia di kota Malang. Sampel diambil dengan teknik purposive sample dan data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif, analisis korelasi dan analisis regresi ganda.
Hasil penelitian ini adalah; (1) sebagian besar tingkat motivasi berprestasi remaja miskin berada pada kategori rendah (2) sebagian besar tingkat nilai kesuksesan berprestasi remaja miskin berada pada kategori rendah (3) sebagian besar tingkat motivasi berprestasi remaja miskin berada pada kategori tinggi (4) ada hubungan yang signifikan antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi (5) ada hubungan antara ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi (6) ada hubungan antara nilai kesuksesan dan nilai kesuksesan secara bersama-sama dengan motivasi berprestasi. Kata kunci: nilai kesuksesan, ekspektansi kesuksesan, motivasi berprestasi, remaja miskin.Naskah artikel ini diambil dari skripsi “Ria Uli Hasibuan” Prodi Psikologi Universitas Negeri Malang Angkatan 2003.Keadaan ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk sejak krisis moneter tahun 1998, disusul kenaikan bahan bakar minyak dan harga beras pada awal tahun 2005 menyebabkan jumlah orang-orang miskin bertambah banyak. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui penduduk miskin pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen dari total jumlah penduduk (Berita Resmi Statistik, 2006). Bertambahnya penduduk miskin secara otomatis berarti semakin manambah banyak keluarga yang sulit untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.Bila melihat fakta yang ada di Indonesia, selain merupakan permasalahan ekonomi, kemiskinan juga menjadi akar permasalahan berbagai aspek kehidupan. Kemiskinan mempengaruhi bidang kesehatan masyarakat. Ketidakmampuan finansial menyebabkan masyarakat miskin sering tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup, sulit untuk membiayai pengobatan ketika sakit, keterbatasan dana untuk menciptakan sanitasi lingkungan yang baik dan bahkan menyebabkan kejadian yang cukup ekstrim seperti kelaparan di beberapa daerah di Indonesia yang menyebabkan banyak balita menderita gizi buruk. Prasetyo (2006:10) menulis “setiap hari lahir sekitar 11.000 anak Indonesia, namun 800 di antaranya meninggal sebelum usia lima tahun oleh penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah”Kemiskinan mempengaruhi kehidupan sosial, kemiskinan sering kali menyebabkan timbulnya pembedaan status sosial, yang membedakan kedudukan, peranan, dan tanggung jawab seseorang dalam masyarakat sehingga menimbulkan kesenjangan sosial. Kemiskinan juga menyebabkan permasalahan sosial, seperti pelacuran anak. Julianto (dalam Prasetyo, 2006:43) mengungkapkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kakak yang menunjukkan bahwa salah satu sebab utama terjadinya pelacuran anak, di antaranya adalah ketidakmampuan untuk bersekolah.
Kemiskinan membatasi kesempatan anak-anak memperoleh pendidikan seperti yang diungkapkan dalam Kompas (2007:1) “sejumlah warga negara kurang mampu menyatakan pesimis bisa memberikan bekal pendidikan kepada anak-anak mereka, minimal hingga jenjang SLTA. Umumnya, kendala yang mereka hadapi adalah belitan kemiskinan sehingga prioritas pendidikan tergeser oleh kebutuhan sehari-hari”.Kemiskinan dapat mempengaruhi stabilitas keamanan dan kenyamanan masyarakat karena kebutuhan yang tidak terpenuhi membuat keresahan masyarakat bertambah sehingga menimbulkan gejolak-gejolak sosial. Seperti demonstrasi menuntut kebijakan pemerintah, pelegalan larangan-larangan umum dengan alasan ketidakmampuan ekonomi, tipisnya rasa nasionalisme bangsa oleh karena ketidakpuasan terhadap pemerintah dan sebagainya. Kemiskinan mempengaruhi tindak kriminalitas. Aristoteles (dalam Haba, 2005) seorang filsuf Yunani kuno mengungkapkan “Kemiskinan adalah orang tua dari revolusi dan kriminalitas”. Banyak tindak kriminalitas diakibatkan oleh kemiskinan, seperti kasus pencurian, penjualan anak bahkan pembunuhan yang disebabkan kerena sulitnya memenuhi kebutuhan hidup.Dalam hal ini jelas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyakit bangsa yang sangat menghambat pembangunan dan harus terus diatasi apabila tidak menginginkan bangsa menjadi semakin terpuruk. Data perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF) menyatakan, dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut sebagai generasi yang hilang akibat kekurangan pangan, penyakitan dan tidak berpendidikan (Prasetyo, 2006:11).Beberapa ahli juga mengatakan bahwa kemiskinan adalah patologi sosial. Menurut Matza dan Miller (dalam Haba, 2005) tentang kemiskinan “Above all it is social pathology, which is to say that disrepute is the imputation or stigma that goes along with being sub-employed” oleh karena itu pemerintah, segenap elemen masyarakat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu mencurahkan perhatian khusus untuk mengentaskan kemiskinan.
Pandangan akan batasan dan faktor-faktor penyebab kemiskinan memang beragam. Scarpitti (1992:209) menulis bahwa masyarakat Amerika memiliki pandangan tentang kemiskinan yang khas dan keras. Pandangan masyarakat ini meyakini bahwa orang miskin menjadi miskin karena kegagalan mereka sendiri. Akibatnya, kemiskinan dilihat sebagai permasalahan individual dengan solusi-solusi individual
Scarpitti (1992:211-212) juga menguraikan pandangan masyarakat Amerika yang tertuang dalam American dream mengenai pandangan terhadap budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan didefinisikan sebagai suatu cara hidup yang dilambangkan dalam masyarakat urban dan perkampungan kumuh. Hal ini terdiri dari banyak jalinan sosial, ekonomi dan faktor-faktor psikologis, termasuk disorganisasi keluarga dan tidak merencanakan masa depan. Pendapat budaya kemiskinan masyarakat Amerika ini mendorong banyak stereotip terkemuka, seperti orang-orang miskin tidak mau bekerja, mereka tidak dapat menunda kepuasan dan mereka malas. Asumsi ini menganggap kemiskinan berasal dari moral yang miskin, bukan karena kurangnya uang mereka. Anggapan dominan tentang kemiskinan ini dihasilkan dari budaya etika kerja Protestan masyarakat Amerika dan American dream yang berpikir bahwa dengan berkerja keras dan keyakinan, seseorang dapat mengusahakan kesuksesan. Menurut keyakinan ini, orang-orang mengendalikan hidup mereka sendiri dan hanya membutuhkan aplikasi diri untuk menghindari menjadi miskin.
Hasbullah (2006:16) juga mengungkapkan bahwa kemiskinan terjadi bukan semata karena pendidikan yang rendah, akses sumberdaya ekonomi terbatas, dan kurang modal melainkan manusia juga hidup dengan tingkat survival yang banyak ditentukan oleh spektrum yang lebih luas yaitu nilai-nilai dan struktur organisasi sosial dimana mereka ada di dalamnya. Seseorang itu menjadi miskin tidak terpisahkan dari sitem sosial yang berlaku yang telah membentuk budaya kemiskinan.
Tetapi tidak semua orang menyetujui pandangan ini. Masih banyak faktor seperti masalah ekonomi, politik, struktur sosial, bencana alam, dan hal-hal lain yang dapat menyebabkan kemiskinan.
Namun salah satu penelitian McClelland (dalam Buck, 1988:383) ternyata mendukung pandangan masyarakat Amerika bahwa kemiskinan berkaitan dengan kualitas psikis individu. McClleland mencoba menunjukkan bahwa ajaran Protestan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kebutuhan berprestasi di antara para pengikutnya. Ia mengemukakan bahwa ideologi Protestan yang cenderung mendorong orang tua untuk menekankan kemandirian dan keunggulan sejak usia awal membuat kebutuhan berprestasi semakin tinggi. Dia juga berpendapat bahwa hal ini dapat digeneralisasikan pada kebudayaan lain dan tingkat ekonomi lainnya.
McClelland melakukan beberapa penelitian dengan tempat dan subyek yang berbeda untuk membuktikan hubungan tingkat pertumbuhan ekonomi dan achievement motivation (motivasi berprestasi) seperti menggunakan nilai-nilai dalam buku cerita anak-anak, analisis literatur Yunani kuno, tingkat konsumsi listrik dan lain-lain. Secara keseluruhan hasil penelitian yang dilakukan McClelland konsisten dengan tesis bahwa nilai-nilai budaya tertentu mendorong kebutuhan berprestasi dan kebutuhan ini merupakan salah satu faktor penting mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Buck,1988:384). Sehingga dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan meningkatkan motivasi berprestasi seseorang untuk keluar dari kemiskinan.
McClelland (1953:79) memberikan pengertian motivasi berprestasi sebagai suatu usaha untuk mencapai kesuksesan, yang bertujuan berhasil dalam persaingan dengan berpedoman pada ukuran keunggulan tertentu. Eccles (2002) menyatakan bahwa motivasi berprestasi memiliki hubungan dengan nilai dan ekspektansi kesuksesan.
Menurut Rokeach (1980:160) nilai merujuk pada kriteria untuk menentukan tingkat kebaikan, keburukan dan keindahan. Nilai (Value) merupakan pikiran-pikiran yang dimuat secara afektif tentang objek, ide-ide, tingkah laku, dan lainnya, yang menentukan tingkah laku, tapi tidak wajib untuk melakukannya. Nilai-nilai kemadirian, keunggulan dan semangat berprestasi, perlu ditanamkan sedini mungkin, sehingga pada saat usia seseorang memasuki usia produktif mereka dapat menghasilkan keluaran yang baik disertai sikap dan ketahanan mental berusaha yang matang. Eccles (dalam Eccles & Wigfield, 2002, Wigfield, Tonks, & Eccles, 2002) memberikan definisi ekspektansi kesuksesan (expectatancy for success) sebagai keyakinan individu tentang bagaimana mereka dapat melakukan sesuatu di masa depan di mana keyakinan tersebut didasari oleh kemampuannya yang dimiliki. Keyakinan seperti ini sangat penting untuk memotivasi seseorang meraih keberhasilan. Dukungan terhadap pernyataan ini sampai sekarang dapat dilihat dengan banyaknya buku tentang kesuksesan yang mengemukakan bahwa kunci kesuksesan ditentukan oleh keyakinan, harapan, keinginan, motivasi, impian (Elfiki, 2003, Schwartz, 1996). Seperti telah diungkapkan kemiskinan memang merupakan permasalahan yang pelik. Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor dan memberi dampak negatif pada banyak sektor, di mana beberapa faktor membentuk siklus bolak-balik yang sukar putus. Hasbullah (2006:17) mengatakan bahwa penaggulangan kemiskinan hanya akan membawa hasil jika dilakukan gerakan bersama oleh setiap komponen pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, LSM dan masyarakat. Dan mengingat bahwa penting bagi masyarakat miskin memiliki komponen psikologis yang kuat seperti motivasi berprestasi yang tinggi, nilai-nilai yang positif dan harapan yang tinggi untuk sukses sebagai kekuatan dorongan untuk keluar dari kemiskinan, maka upaya pembentukan kualitas psikologis demikian penting untuk dilakukan. Compassion merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau yayasan sosial yang bergerak dalam usaha mengentaskan kemiskinan melalui program Pusat Pengembangan Anak (PPA). Program ini membiayai, membina, memberikan bantuan pendidikan intelektual dan pembinaan psikologis kepada anak-anak (tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah dasar) dan remaja (tingkat sekolah menengah pertama dan mengengah atas) yang orang tuanya masuk dalam kategori miskin. Sasaran program ini adalah untuk mengusahakan pengembangan rohani, pengembangan jasmani, pengembangan kognitif serta pengembangan sosio-emosional anak. Dengan usaha ini diharapkan agar anak-anak dan remaja miskin tersebut dapat memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan dan dapat ikut membangun bangsa.
Namun berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, pada kenyataannya banyak remaja miskin yang di bina dalam Pusat Pengembangan Anak Yayasan Compassion masih memiliki motivasi berprestasi yang rendah. Ada kemungkinan keterbatasan ekonomi dianggap sebagai halangan besar bagi masyarakat miskin untuk berambisi merealisasikan dorongan dan kebutuhan untuk maju sehingga ekspektansi remaja ini terhalangi. Karena mereka menderita kemiskinan maka seolah-olah mereka tidak berdaya untuk mencapai cita-cita yang tinggi, sehingga cenderung memilih cara hidup pasrah, mengalir dan hanya menjalani apa yang ada. Bahkan hal ini lebih diperparah dengan adanya strereotipe budaya yang cenderung membatasi. Kuntoro (1995:44) mengungkapkan bahwa “dalam budaya masyarakat miskin seperti di Jawa, motivasi dan kebutuhan untuk maju yang melebihi batas seolah-olah tidak disetujui umum, sebagaimana ungkapan “Cebol Nggayuh Lintang”. Ungkapan ini menunjukkan sesuatu yang tak masuk akal jika orang miskin mempunyai cita-cita tinggi”. Atau mungkin salah satu penyebab kurangnya motivasi berprestasi miskin ini dikarenakan nilai-nilai budaya kemiskinan yang terinternalisasi dari lingkungan. Menurut Mahmud (1989) masa remaja merupakan masa yang penting bagi perkembangan prestasi karena selama masa remaja inilah remaja membuat keputusan penting sehubungan dengan masa depan pendidikan dan pekerjaan. Prestasi di sekolah dan di dalam pekerjaan sangat terkait. Berprestasi baik di sekolah dan di dalam pekerjaan sangat terkait. Berprestasi baik di sekolah pada umumnya meratakan jalan untuk memperoleh pekerjaan yang baik pula.Selain mementingkan prestasi, Piaget (dalam Santrock, 1995:10) menambahkan bahwa salah satu ciri pemikiran operasinal formal remaja adalah bahwa pada tahap perkembangannya, remaja memiliki pemikiran idealis. Dalam pemikiran yang idealis ini, remaja mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal mereka dan orang lain dengan menggunakan standar-standar. Sementara pada masa anak-anak lebih berpikir tentang apa yang nyata dan apa yang terbatas, selama masa remaja, pemikiran-pemikiran sering berupa fantasi yang mengarah ke masa depan. Sukanto (1996:10) juga menambahkan salah satu ciri remaja adalah menginginkan sistem nilai dan kaidah yang serasi dengan kebutuhan atau keinginannya tidak selalu sama dengan sistem nilai dan kaidah yang dianut oleh orang dewasa. Bila melihat ciri-ciri remaja ini ada kemungkinan remaja miskin tidak tergantung pada keadaan yang ada di lingkungan karena cenderung menuruti pemikiran dan nilai-nilai pribadi.Berdasarkan uraian di atas terdapat pemikiran yang bertentangan. Apakah budaya kemiskinan (culture of poverty) yang umumnya ada dalam lingkungan masyarakat miskin dan stereotip orang miskin sulit maju mempengaruhi ekspektansi kesuksesan dan nilai kesuksesan serta motivasi berprestasi remaja miskin atau tidak mempengaruhi ekpektansi kesuksesan, nilai kesuksesan, serta motivasi berprestasi remaja miskin karena dalam tahap perkembangannya remaja cenderung memiliki pemikiran idealis yang sering berupa fantasi yang mengarah ke masa depan dan mengikuti sistem nilai pribadi sesuai keinginannya meskipun bertentangan dengan yang dianut oleh orang dewasa.
Dari latar belakang pertentangan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini. Secara spesifik penulis mencoba untuk mendeskripsikan motivasi berprestasi, ekpektansi kesuksesan di masa depan, nilai terhadap kesuksesan dalam aspek pendidikan, pekerjaan dan penghasilan di masa depan, serta mengungkap hubungan diantara ketiga variabel tersebut pada remaja miskin yang mengikuti program pusat pengembangan anak Yayasan Compassion di Malang.
METODEPenelitian ini didasari dengan rancangan penelitian lapangan. Ditinjau dari pendekatan yang digunakan, penelitian lapangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. (Universitas Negeri Malang, 2007:1). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu ekspektansi kesuksesan dan nilai kesuksesan sebagai variabel bebas serta motivasi berprestasi sebagai variabel terikat.Penelitian ini akan menggambarkan hubungan variabel nilai kesuksesan (X1) dan motivasi berprestasi (Y), hubungan variabel ekspektansi kesuksesan (X2) dengan motivasi berprestasi (Y), serta hubungan antar variabel nilai kesuksesan (X1), ekspektansi kesuksesan (X2) dengan motivasi berprestasi (Y).Populasi pada penelitian ini adalah remaja dengan ekonomi miskin yang mengikuti program Pusat Pengembangan Anak (PPA) Yayasan Compassion Indonesia yang tersebar di 23 tempat di kota Malang, dengan rentang usia 15-18tahun dimana berdasarkan usia mereka sedang menempuh pendidikan di SMP atau SMA/SMK/Kursus. Sampel diambil menggunakan desain nonprobability sampling dengan jenis teknik purposive sampling. Dengan teknik pengambilan sampel berdasarkan tujuan (purposive sampling) ini, siapa yang akan menjadi sampel diserahkan pada pertimbangan pengumpul data yang sesuai dengan maksud dan tujuan peneliti Teknik purposive sampling sampel dipilih dari sub populasi yang mempunyai sifat sesuai dengan sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Tidak semua daerah/rumpun populasi diteliti, cukup dua atau tiga daerah kunci atau kelompok kunci yang diambil sampelnya untuk diteliti. Teknik ini juga disebut pula dengan judgment sampling.Program pengembangan anak Yayasan Compassion Indonesia tersebar di 23 tempat di Kota Malang, maka untuk mengatasi kesulitan mobilitas pengumpulan data dan keefisienan kerja, maka tenik pengambilan sampel bertujuan digunakan dalam penelitian ini. Pertimbangan teknik ini dapat digunakan dengan tetap mengharapkan keterwakilan populasi adalah karena populasi dalam penelitian ini dinilai sebagai populasi yang homogen.Dengan menggunakan teknik ini, maka dari 23 tempat program pengembangan anak dilaksanakan, dipilih 8 tempat yang mudah dijangkau dan tidak mengalami kesulitan perizinan, 3 tempat digunakan untuk uji coba lapangan dan 5 tempat untuk penelitian sesungguhnya.
Untuk mengukur variabel penelitian ini digunakan instrumen berupa skala yang dikembangkan oleh peneliti dan akan diuji kesahihan atau validitasnya, yaitu: skala ekpektansi kesuksesan untuk mengukur tingkat ekspektansi kesuksesan remaja miskin, skala nilai kesuksesan untuk mengukur tingkat nilai kesuksesan remaja miskin dan skala motivasi berprestasi untuk mengukur motivasi berprestasi remaja miskin.Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif dan korelasional. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran lebih jelas mengenai nilai kesuksesan, ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion. Analisis deskriptif yang digunakan diantaranya adalah nilai minimum, nilai maksimum, mean, standar deviasi, klasifikasi norma standar dengan skor-T.
HASIL PENELITIAN
Remaja miskin yang termasuk kategori memiliki motivasi berprestasi tinggi sebanyak 16 orang (43,24%), sedangkan yang memiliki motivasi berprestasi rendah sebanyak 21 orang (56,76%). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak remaja miskin yang memiliki motivasi berprestasi rendah, namun tidak terlalu besar jumlahnya. Remaja miskin yang termasuk kategori memiliki nilai kesuksesan tinggi sebanyak 17 orang (45,95%), sedangkan motivasi rendah sebanyak 20 orang (54,05%). Dari data tersebut bisa dilihat lebih banyak remaja miskin yang memiliki tingkat nilai kesuksesan rendah, namun tidak terlalu besar perbedaan jumlahnya.Remaja miskin yang termasuk kategori memiliki ekspektansi kesuksesan tinggi sebanyak 19 orang (51,35%), sedangkan yang memiliki ekspektansi kesuksesan rendah sebanyak 18 orang (48,65%). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa remaja miskin yang memiliki tingkat ekspektansi kesuksesan tinggi lebih banyak, meskipun sangat sedikit perbedaannya.Analisis korelasional dilakukan untuk menguji hipotesis 1, hipotesis 2 dan hipotesis 3. Hasil korelasi nilai kesuksesan dengan motivasi berprestasi dan ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi.Tabel 1.2 Rangkuman Hasil Analisis Korelasional
Variabel yang dikorelasikan N R p
Motivasi Berprestasi – Nilai Kesuksesan 37 0.361 0.028
Motivasi Berprestasi – Ekspektansi Kesuksesan 37 0.523 0.001
Motivasi Berprestasi – Nilai Kesuksesan dan Ekspektansi Kesuksesan 37 0.537 0.010
A.Pengujian Hipotesis 1
Dari perhitungan nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi dengan menggunakan korelasi product moment pearson diperoleh rx1y = 0,361, p = 0,028, pada taraf signifikansi 5% (p ≤ 0,05), hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi. Tanda positif menunjukkan bahwa ada hubungan yang searah antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi dimana semakin tinggi nilai kesuksesan maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi remaja miskin binaan PPA Compassion Malang. Dengan demikian, hipotesis pertama yang berbunyi “Ada hubungan antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi”, dapat diterima kebenarannya.
b. Pengujian Hipotesis 2Dari perhitungan data ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi dengan menggunakan korelasi product moment pearson diperoleh rx2y = 0,523, p = 0,001, pada taraf signifikansi 5% (p ≤ 0,05), hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi. Tanda positif menunjukkan bahwa ada hubungan yang searah antara ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi dimana semakin tinggi ekspektansi kesuksesan maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion. Hal ini berarti, hipotesis kedua yang berbunyi “Ada hubungan antara ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi”, dapat diterima kebenarannya.
c. Hipotesis Untuk menguji hipotesis tiga digunakan teknik analisis korelasional ganda (multiple corelation). Berdasarkan hasil analisis korelasi ganda nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi sebagai variabel terikat pada tabel 4.7 halaman 71, dimana R = 0,537 dan p  0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi. Tanda positif menunjukkan bahwa ada hubungan yang searah antara nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi, ini berarti semakin tinggi nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi remaja miskin binaan PPA Compassion Malang. Dengan demikian, hipotesis ketiga yang berbunyi “Ada hubungan antara nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan secara bersama-sama dengan motivasi berprestasi”, dapat diterima kebenarannya.
PEMBAHASAN
Pada penelitian remaja miskin di PPA Compassion ini hasil yang diperoleh menunjukkan remaja miskin yang memiliki motivasi berprestasi tinggi sebanyak 16 orang (43,24%), sedangkan remaja miskin yang memiliki motivasi berprestasi rendah sebanyak 21 orang (56,76%). Dari hasil ini dapat dilihat bahwa lebih banyak remaja miskin yang memiliki motivasi berprestasi rendah, sehingga cukup mendukung perkiraan sebelumnya, yaitu bahwa faktor ekonomi memberikan pengaruh pada motivasi berprestasi remaja miskin. Fakta bahwa ternyata remaja miskin di PPA Compassion yang memiliki motivasi berprestasi tinggi juga cukup banyak kemungkinan disebabkan karena adanya intervensi pengaruh program pembinaan yang diterima remaja miskin di PPA Compassion. Seperti diketahui anak-anak binaan PPA Compassion sudah dibina sejak usia 3 – 8 tahun, sehingga ada kemungkinan hasil pembinaan program, seperti My Plan For Tommorow, yang memberi pengaruh peningkatan motivasi berprestasi pada remaja miskin. Selain faktor di atas, masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat motivasi berprestasi remaja miskin diantaranya adalah intelegensi dan wawasan remaja miskin, pendidikan yang ditempuh dan yang paling penting adalah dukungan orang tua. Mahmud (1989:89-90) menulis bahwa hasil penelitian menunjukkan kasus remaja miskin berprestasi tinggi itu berakar pada sikap orang tua yang hangat dan suka memotivasi, yang menaruh minat pada kemajuan belajar anak-anaknya, dan yang bergairah sekali melihat anak-anaknya berhasil baik dalam pelajarannya. Dengan kata lain, hubungan keluarga yang positif beserta dorongan orang tua yang simpatik dapat mengatasi pengaruh negatif dari keadaan sosial ekonomi yang tidak baik.Remaja miskin yang termasuk kategori memiliki nilai kesuksesan tinggi sebanyak 17 orang (45,95%), sedangkan yang memiliki nilai kesuksesan rendah sebanyak 20 orang (54,05%). Kemungkinan faktor yang menyebabkan remaja miskin tetap memiliki nilai kesuksesan sedang dan tinggi meskipun dibatasi oleh keadaan ekonomi diantaranya adalah karena salah satu ciri-ciri pada tahap remaja adalah bahwa mereka cenderung memiliki sistem nilai dan kaidah yang serasi dengan kebutuhan atau keinginannya yang tidak selalu sama dengan sistem nilai dan kaidah yang dianut oleh orang dewasa. Piaget (dalam Santrock, 1995:10) juga mengemukakan bahwa salah satu ciri pemikiran operasinal formal remaja adalah bahwa tahap perkembangannya, remaja memiliki pemikiran idealis. Bila melihat ciri-ciri remaja ini ada kemungkinan andaikata lingkungannya memiliki nilai-nilai culture of poverty atau adanya streotipe masyarakat yang membatasi kemajuan, remaja miskin tidak selalu mengikuti nilai-nilai yang ada di lingkungan karena cenderung menuruti idealisme pemikiran dan nilai-nilai pribadi. Sedangkan faktor lain yang mengkondisikan remaja miskin memiliki nilai kesuksesan yang tinggi adalah karena intervensi pengaruh program pembinaan yang diterima remaja miskin di PPA Compassion.
Hampir senada dengan Piaget, Hurlock (1980:220) juga menyatakan bahwa pada tahap remaja individu memiliki pemikiran yang tidak relistis. Pemikiran yang tidak realistis ini menyebabkan para remaja cenderung bercita-cita tinggi yang tidak realistis. Oleh karena itu, mereka seringkali tidak memperoleh kepuasan dari prestasi. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri pemikiran idealis dan tidak realistis bisa menyebabkan kecenderungan remaja miskin memiliki ekpektansi kesuksesan yang besar. Namun selain dari pada itu, salah satu kemungkinan faktor lain yang mungkin dapat dikaji lebih lanjut yaitu karena adanya intervensi pengaruh program pembinaan dan bantuan dana serta sarana dan presarana yang diterima remaja miskin di PPA Compassion sehingga meningkatkan ekspektansi diri.
Sebaliknya, faktor yang mungkin menyebabkan remaja miskin memiliki ekspektansi kesuksesan rendah adalah karena kondisi ekonomi yang banyak membatasi pemenuhan sarana dan prasarana untuk maju, adanya streotipe orang tua dan lingkungan sekitar yang tidak mendukung perluasan imajinasi meraih kesuksesan, sehingga membuat remaja miskin tidak memiliki keyakinan dan harapan untuk menggapai kesuksesan.Hasil perhitungan hubungan nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi nilai remaja miskin terhadap kesuksesan maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi remaja miskin, sebaliknya semakin rendah nilai remaja miskin terhadap kesuksesan maka motivasi berprestasi remaja miskin juga semakin rendah. Hasil penelitian hubungan ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi pada remaja miskin di PPA Compassion menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi ekspektansi remaja miskin terhadap kesuksesan maka semakin tinggi pula motivasi berprestasi remaja miskin, sebaliknya semakin rendah ekspektansi remaja miskin terhadap kesuksesan maka motivasi berprestasi remaja miskin juga semakin rendah.
Hasil penelitian ini juga mendukung bahwa keyakinan akan kemampuan atau peluang yang dimilikinya mengenai aspek-aspek kesuksesan di masa depan seperti pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang bagus dan penghasilan yang besar memberikan kontribusi positif bagi remaja miskin untuk menunjukkan perilaku berprestasi. Semakin tinggi ekspekansi remaja miskin terhadap kesuksesan maka semakin tinggi pula motivasi berprestasinya, dan begitu juga sebaliknya.
Beberapa penelitian yang dilakukan Schneider, mendukung hasil penelitian yang menunjukkan ada hubungan antara ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion. Schneider (2001:21) melakukan penelitian meningkatkan motivasi dan prestasi dengan latihan kelancaran berbahasa inggris. Salah satu hasil penelitiannya menunjukan bahwa ekspektansi berhubungan positif dengan motivasi dan prestasi pada siswa lanjutan.
Hasil pengujian hubungan nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion Malang pada penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi. Sehingga dapat dikatakan, dengan mengupayakan peningkatan nilai dan ekspektansi remaja miskin terhadap aspek-aspek kesuksesan dimasa depan, seperti kesuksesan dalam meraih pendidikan yang tinggi, memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang besar, maka diprediksi dapat memberikan peningkatan motivasi berprestasi remaja miskin tersebut.
Hasil pengujian hubungan nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi remaja miskin di PPA Compassion Malang pada penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan dengan motivasi berprestasi. Sehingga dapat dikatakan, dengan mengupayakan peningkatan nilai dan ekspektansi remaja miskin terhadap aspek-aspek kesuksesan dimasa depan, seperti kesuksesan dalam meraih pendidikan yang tinggi, memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang besar, maka diprediksi dapat memberikan peningkatan motivasi berprestasi remaja miskin tersebut.
Beberapa faktor lain yang dianggap memiliki hubungan dengan motivasi berprestasi dilakukan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian yang dilakukan Ghani (1999) menunjukkan ada hubungan signifikan secara parsial antara motivasi berprestasi dan intelegensi siswa, yang berarti semakin tinggi intelegensi siswa, berarti akan semakin tinggi pula motivasi berprestasinya. Mahmud (1989:89-90) menulis bahwa “hasil penelitian menunjukkan kasus remaja miskin berprestasi tinggi itu berakar pada sikap orang tua yang hangat dan suka memotivasi, yang menaruh minat pada kemajuan belajar anak-anaknya, dan yang bergairah sekali melihat anak-anaknya berhasil baik dalam pelajarannya. Dengan kata lain, hubungan keluarga yang positif beserta dorongan orang tua yang simpatik dapat mengatasi pengaruh negatif dari keadaan sosial ekonomi yang tidak baik”. Dari hal di atas, diketahui faktor lain yang mempengaruhi motivasi berprestasi diantaranya adalah intelegensi, sikap atau pola asuh orang tua, dan sebagainya.
Dengan melihat data di atas juga dapat dilihat bahwa nilai ekspektansi kesuksesan lebih berhubungan dari nilai kesuksesan, hal ini menunjukkan bahwa ekspektansi kesuksesan secara signifikan memberikan sumbangan relatif lebih besar dibandingkan nilai kesuksesan terhadap motivasi berprestasi. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa andaikata nilai yang dimiliki remaja miskin tidak begitu baik oleh karena lingkungan ataupun pengalaman hidup adalah penting menanamkan keyakinan pada remaja miskin, bahwa mereka bisa mencapai kesuksesan sehingga termotivasi mengusahakan kesuksesan tersebut.Seperti dikatakan sebelumnya, tingkat ekspektansi dan nilai seseorang terhadap sesuatu dapat berbeda. Terkadang seseorang menilai sesuatu sebagai hal yang baik dan berguna namun tidak memiliki keyakinan akan kemungkinan dapat memperoleh/melakukannya. Sebaliknya, terkadang orang menganggap bahwa kemungkinannya untuk berhasil memperoleh/melakukan sangat besar namun tidak mengusahakan hal tersebut karena tidak menganggap itu penting sehingga tidak menginginkannya. Sebagai contoh seorang anak yang hidup dengan ekonomi miskin menilai penting sebuah tujuan, seperti hendak masuk ke perguruan tinggi tapi tidak berfikir memiliki kesempatan atau sebaliknya jika anak lain dengan ekonomi berkecukupan berfikir dapat dengan mudah masukan perguruan tinggi, tapi kita tidak menginginkannya karena malas belajar. Namun, seperti telah diuraikan di atas, pada penelitian ini nilai dan ekspektansi masing-masing memberikan sumbangan korelasi pada motivasi berprestasi tanpa harus ada bersamaan, seperti yang ditunjukan dengan diterimanya hipotesis pertama dan hipotesis kedua. Sehingga, ada kemungkinan bahwa walaupun, tingkat nilai dan ekspektansi seseorang berbeda atau bahkan salah satu variabel tidak, tetap ada kemungkinan memberikan pengaruh pada motivasi berprestasi.
KESIMPULAN DAN SARARAN
Dari bab-bab sebelumnya maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:Sebagian besar tingkat motivasi berprestasi remaja miskin berada pada kategori rendah Sebagian besar tingkat nilai kesuksesan remaja miskin berada pada kategori rendah, namun tidak terlalu banyak perbedaan jumlahnya dengan yang kategori tinggiSebagian besar tingkat ekpektansi kesuksesan remaja miskin berada pada ketegori tinggi, namun sangat sedikit perbedaan jumlahnya dengan yang kategori rendah Ada hubungan yang signifikan antara nilai kesuksesan dan motivasi berprestasi Ada hubungan antara ekspektansi kesuksesan dan motivasi berprestasi Ada hubungan antara nilai kesuksesan dan nilai kesuksesan secara bersama-sama dengan motivasi berprestasi Tingkat aspek kesuksesan pendidikan yang tinggi pada variabel nilai sedikit lebih tinggi dari pada aspek kesuksesan pekerjaan yang bagus dan penghasilan yang besar, sedangkan pada variabel ekspektansi aspek kesuksesan terhadap pekerjaan yang bagus dan penghasilan yang besar, dapat dikatakan seimbang besarnya.Dengan memperhatikan hasil-hasil penemuan dalam penelitian ini serta pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat diajukan saran sebagai berikut:
1. Bagi Remaja Miskin
Karena motivasi berprestasi berhubungan dengan nilai dan ekspektansi terhadap kesuksesan, maka remaja miskin disarankan mulai banyak mengimajinasikan keinginan di masa depan, banyak membaca/memperhatikan pengalaman orang-orang sukses sehingga menemukan inspirasi, mulai menyusun rencana masa depan, memupuk keyakinan diri dengan berfikiran positif, mendiskusikan dengan orang tua atau pihak yang dapat membantu menemukan solusi guna mengatasi kesulitan untuk sukses dan lainnya. Bagi remaja miskin di PPA Compassion agar menyadari pentingnya mengikuti setiap program pembinaan psikologis, seperti My Plan for Tommorow yang merupakan salah satu bentuk aplikasi hubungan motivasi berprestasi, nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan.Bagi Yayasan Compassion dan Tutor/Pengajar Melihat gambaran masih banyak remaja miskin yang kurang memiliki motivasi berprestasi, perlu terus diupayakan penggalakan atau pengkajian keefektifan program peningkatan motivasi berprestasi yang sudah diterapkan selama ini. Program My Plan For Tommorow yang baru direvisi dan yang akan diaplikasikan secara serentak di PPA Compassion Indonesia terlihat dapat menjadi aplikasi penting dari hasil penemuan penelitian ini, untuk itu disarankan agar tutor/pendamping anak memahami pentingnya program ini dan dapat menjalankannya semaksimal mungkin, juga bagi Yayasan diharapkan dapat mengawasi dan terus meningkatkan kualitas pelaksanaan dari program ini.Selain langsung kepada anak/remaja miskin, pihak Yayasan juga dapat memanfaatkan acara pertemuan dengan orang tua untuk terus mengupayakan pembelajaran bagi orang tua sehingga memahami cara bersikap atau menerapkan pola asuh dan pola didik yang tepat kepada anak, seperti sering membicarakan contoh-contoh kesuksesan kepada anak, mendiskusikan harapan-harapan anak di masa depan dan menghindari diri untuk mematahkan keyakinan diri anak meskipun terkadang terlihat mustahil.

3. Bagi Orang Tua
Hubungan keluarga yang positif beserta dorongan orang tua yang simpatik dapat mengatasi pengaruh negatif dari keadaan sosial ekonomi yang tidak baik, maka adalah penting bagi orang tua remaja miskin untuk menunjukkan sikap yang hangat dan suka memotivasi, menaruh minat pada kemajuan anak-anaknya, dan menunjukkan gairah melihat anak-anaknya berhasil melakukan sesuatu sehingga walaupun kondisi kemiskinan membelenggu namun motivasi berprestasi anak tetap bisa tinggi.
Seperti yang telah diuraikan di atas, beberapa contoh saran penanaman nilai kesuksesan, maupun ekspektansi anak terhadap kesuksesan yang dapat dilakukan orang tua diantaranya adalah agar orang tua sering membicarakan contoh-contoh kesuksesan kepada anak, mendiskusikan harapan-harapan anak di masa depan dan menghindari diri untuk mematahkan keyakinan diri anak meskipun terkadang terlihat mustahil sebaliknya mendorong semangat anak atau bahkan memberi solusi agar anak berhasil melakukan apa yang dicita-citakannya.
4. Bagi Pemerintah
Aspek psikologis negatif seperti culture of poverty atau mental miskin bangsa Indonesia diakui beberapa kalangan terdapat dalam masyarakat Indonesia, untuk itu adalah pentingnya menerapkan pendekatan psikologi untuk mengentaskan kemiskinan sebagai salah satu solusi yang perlu ditangkap oleh pemerintah, sehingga pemerintah/pemerhati masalah lingkungan tidak hanya memikirkan pembangunan aspek fisik seperti lapangan pekerjaan, gedung sekolah, area transmigrasi sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan namun juga memikirkan program pengentasan kemiskinan melalui pembinaan psikologis. Salah satu contoh sederhana yang dapat dilakuakan pemerintah adalah dengan menggalakan iklan layanan masyarakat yang memberi pesan agar memacu keinginan untuk sukses, menekankan pentingnya keyakinan diri dan lainnya.
5. Bagi Penelitian Selanjutnya
a. Penelitian ini hanya memberikan gambaran keadaan dan hubungan tentang motivasi berprestasi, nilai kesuksesan dan ekspektansi kesuksesan, dan belum menguji aplikasi dari penemuan ini. Maka dari itu, disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian eksperimen yang akan menguji kebenaran hasil penelitian ini dan menemukan tretment guna meningkatkan motivasi berprestasi sehingga dapat diaplikasikan dalam program-program lembaga-lembaga yang menangani anak-anak miskin. Bagi peneliti selanjutnya juga disarankan untuk melakukan penelitian sejenis dengan subyek peneliti yang benar-benar murni miskin tanpa menerima bantuan lembaga/yayasan untuk melihat apakah ada perbedaan remaja miskin yang berada di Pusat Pengembangan Anak Compassion dengan remaja miskin yang tidak menerima bantuan dari lembaga/yayasan manapun.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Runik Sri. Sep - Okt 2005. Orang Miskin Versi Pemerintah. Republika dalam Dokumentasi Kliping Situasi dan arah Kependudukan Indonesia, Bidang Penelitian dan Informasi Kependudukan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, XVI: 15-16.
Ate, Johanis. 2001. Perilaku Menyimpang di Kalangan Siswa Remaja Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Dikaji dari Sistem Sistem Nilai Yang Ditetapkan. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Azwar, Saifuddin. 2005a. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Azwar, Saifuddin. 2005b. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Buck, Ross. 1988. Human Motivation and Emotion. Canada: John Willey & Sons, Inc.
Chaplin, J. P. 2004. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Compassion International. 2000. About Compassion, 2002-2008, (Online), (http://www.compassion.com, diakses 14 November 2006)